Solopos Institute akan mendorong sekolah baik guru maupun pelajar SMA/SMK di Soloraya untuk meningkatkan produksi karya jurnalistik keberagaman di ruang publik.
Solopos.com, SOLO-Pelaksana program literasi keberagaman, Solopos Institute akan mendorong sekolah baik guru maupun pelajar SMA/SMK di Soloraya untuk meningkatkan produksi karya jurnalistik keberagaman di ruang publik.
Hal ini menjadi komitmen Solopos Institute sejak merancang program literasi keberagaman ini sejak satu tahun lalu.
“Produksi karya berbasis keberagaman ini penting agar ruang publik diwarnai karya-karya jurnalistik yang berkualitas. Hal ini bisa menjadi narasi tandingan atas konten-konten yang bernuansa intoleran,” ujar Manajer Solopos Institute, Sholahuddin, Senin (5/10/2020).
Solopos Institute meluncurkan program Internalisasi Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme untuk Guru dan Pelajar SMA/SMK di Soloraya sejak 3 Agustus lalu hingga 2 Agustus 2021 di delapan SMA/SMK masing-masing di Solo, Karanganyar, Klaten dan Sukoharjo.
Program ini diawali riset baseline literasi keberagaman pada 9-19 September lalu dengan 402 responden dari guru dan pelajar.
Riset untuk mencari data pengetahuan toleransi, keberagaman, literasi praktik jurnalistik di sekolah. Pada Selasa (29/9/2020) pekan lalu hasil riset dipresentasikan di hadapan 32 guru calon fasilitator dan kepala sekolah yang menjadi lokasi program.
Temuan Penting
Pada workshop melalui aplikasi Zoom ini juga mengundang perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.
Project Officer Program Literasi Keberagaman, Amar Benni Nugroho, mengatakan banyak temuan menarik di riset baseline. Temuan-temuan ini akan menjadi masukan penting tim pennyusun modul literasi keberagaman agar sesuai kebutuhan sekolah.
Beberapa temuan penting itu antara lain masih sedikitnya produk jurnalistik keberagaman baik karya guru maupun siswa.
“Di kalangan guru baru 8% yang pernah membuat karya jurnalistik keberagaman, sedangkan di kalangan pelajar 17%. Sisanya belum pernah,” jelas Benni saat mempresentasikan hasil riset baseline.
Masih minimnya karya jurnalistik keberagaman ini karena tema-tema keberagaman masih dinilai sensitif oleh komunitas sekolah.
“Gak papa. Faktanya isu ini masih sensitif. Program ini justru ingin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan jurnalistik keberagaman. Selama dikemas dengan cara menarik, saya yakin tema keberagaman bukan hal sensitif,” imbuh Sholahuddin.
Netral
Saat disodori pernyataan bahwa membuat karya jurnalistik keberagaman itu mudah, sebagian besar responden menjawab “netral”. Sedangkan yang menjawab “setuju” hanya 4% untuk guru, sedangkan 8% untuk pelajar. Sedangkan yang “tidak setuju” sebanyak 24% untuk guru, dan 25% untuk siswa. Banyaknya yang menjawab “netral” menunjukkan responden masih ragu-ragu.
Survei juga menemukan perbedaan karakteristik antara guru dan pelajar terkait dunia literasi. Pada platform sumber informasi, media online menjadi rujukan paling banyak oleh guru (35%). Sedangkan di kalangan pelajar sumber informasi didominasi dari media sosial (65%).
Terkait isu yang dicari dari media, di kalangan guru isu pendidikan paling banyak dicari (11%), disusul isu kesehatan (10%). Sedangkan di kalangan pelajar, tema hiburan (14%) menjadi informasi idola, disusul tema pendidikan (11%).
Menyikapi pernyataan “Informasi yang jadi viral pasti benar”, sebanyak 80% responden guru tidak setuju, hanya 1% yang menyatakan setuju. Pada siswa, 44% pelajar tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak 11% pelajar setuju dengan pernyataan tersebut. Sedangkan pelajar yang menjawab “netral” mencapai 45%, sedangkan guru 19%.
Tim ahli riset baseline, Akhmad Ramdhon menyatakan riset ini menjadi temuan besar dan penting, baik buat sekolah maupun Solopos.
“Tahun depan akan banyak produk [literasi kebergaman]. Saya ingin segera melihat hasil produk ini dipajang di sekolah melalui berbagai saluran informasi. Ini menjadi modal yang bagus tidak hanya bagi guru dan siswa, tapi bagi masyarakat luas,” ujar dosen Sosiologi Fisip UNS ini. (Tim Solopos)
Sumber : https://www.solopos.com/solopos-institute-ruang-publik-perlu-narasi-keberagaman-1084840