Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the learnpress domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the learnpress domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the thim-core domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the woocommerce domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114
Orang-Orang yang Merawat Tanah Bineka – Solopos Institute

Blog

Orang-Orang yang Merawat Tanah Bineka

Konflik selalu ada salah satu jalan, namun upaya menjaga perdamaian juga selalu menemukan jalan yang lainnya.

Solopos.com, SOLO—Di Tanah bineka ada banyak cerita tentang manusia dan kemanusiaan mereka. Tentang pesan seorang ibu supaya tak mengusir teman anaknya yang berbeda agama masuk rumah, tentang seorang perempuan yang sibuk memasak ketupat opor untuk keluarganya yang setia mengirim kue keranjang tiap Tahun Baru Imlek tiba, tentang susah payah seseorang merawat tradisi selamatan, tentang pesan ustaz kepada muridnya agar selalu menghormati pemeluk agama lain, tentang misa yang digelar di rumah warga muslim, dan cerita-cerita kemanusiaan yang lain. Konflik memang selalu ada di satu sisi jalan, namun upaya merawat perdamaian juga selalu menemukan sisi jalan lainnya.

Itulah catatan workshop literasi keberagaman untuk guru yang diadakan Solopos Institute sejak 20 Desember 2021 dan berakhir pada 14 Januari 2022 mendatang. Ada tiga jenis workshop yang digelar Solopos Institute, pertama workshop literasi keberagaman untuk guru berbasis esai, kedua berbasis berita kisah, dan ketiga berbasis video. Masing-masing jenis workshop digelar dalam dua gelombang di mana masing-masing kegiatan diikuti 25 guru dari delapan SMA/SMK di Soloraya.

Dalam salah satu workshop yang bercerita tentang keberagaman berbasis berita kisah gelombang II, contohnya, ada kisah-kisah menarik yang disampaikan para guru. Salah satunya dari seorang guru yang bernama Lestari. Judul naskah keberagaman yang dia ajukan pendek saja. Ketupat Opor dan Kue Keranjang. Dua makanan itu sangat berkesan untuknya sehingga ia jadikan tema untuk naskahnya.

“Tiap kali Lebaran saya selalu membuat ketupat opor dalam jumlah banyak. Tapi, ketupat opor itu bukan hanya untuk saya, melainkan untuk keluarga saya yang tinggal di Sukoharjo. Mereka bukanlah keluarga muslim. Nah, kenapa saya mengirimi mereka ketupat opor, itu karena mereka juga selalu mengirimi saya kue keranjang setiap Tahun Baru Imlek tiba. Kiriman mereka itu banyak sekali. Waktu saya bawa ke sekolahan, guru-guru bisa dapat semua. Jadi memang banyak sekali kue keranjang yang mereka kirim untuk keluarga kami,” kata Tari, sapaan akrabnya, dalam acara workshop, Jumat (7/1/2022), di Solia Hotel Yosodipuro, Solo.

Tari berpikir kisah kue keranjang dan ketupat opor menarik untuk diangkat menjadi tulisan mengenai keberagaman. Dua makanan itu adalah simbol perjuangan dirinya untuk melestarikan perdamaian di antara manusia yang berbeda-beda, baik ras maupun keyakinan atau agama.

Dilarang Masuk Rumah

Cerita lain disuarakan seorang guru bernama Umi Khumaidah. Cerita itu ia buka dengan keterkejutan dirinya saat mendengar kisah sang anak yang baru saja pulang bermain dari rumah tetangga. Kisahnya terjadi tiga tahun yang lalu, sekitar 2018. Cerita anaknya itu berhasil menyentak kesadarannya dan membuatnya merasa sangat sedih.

“Memang saya terkejut sekali waktu itu. Jadi, saat itu, anak saya bercerita mengenai salah satu temannya tidak mengizinkan teman lainnya masuk rumah karena si teman itu bukan orang Islam. Ini kan kelompok teman sepermainan TK dan SD. Bagaimana anak sekecil itu sudah bersikap diskriminatif? Kalau melihat latar belakang keluarga si anak, orang tuanya memang tergolong eksklusif yang cenderung tertutup dengan tetangga. Ternyata si anak memang diajarkan demikian. Tidak boleh menerima tamu yang berbeda agama.”

Umi mendengar cerita anaknya hingga rampung sebelum kemudian bertanya kepada sang anak tentang kejadian itu. Diskusi pun terjadi di antara mereka, antara si anak dan si ibu yang sama-sama kebingungan dalam konteks yang berbeda.

“Pada akhirnya saya meminta anak saya tidak berbuat hal yang sama. Rumah kami terbuka untuk semua orang, dari agama apa pun. Saya mengajarkan pada anak saya bahwa dia tidak boleh mengusir seseorang hanya karena dia berbeda dari kami. Dia tak boleh meniru yang dilakukan temannya.”

Pesan Seorang Ustaz

Cerita Djaenul Banani juga menarik perhatian para peserta workshop. Pria yang akrab disapa Dj itu bercerita mengenai cara kawannya yang muslim ketika perayaan Natal tiba. Bukan tulisan selamat Natal yang ia kirimkan melainkan sebuah tulisan panjang tentang pesan ustaznya. Pesan sang ustaz itu adalah adab memperlakukan orang yang berbeda agama dan cara mencintai mereka sebagai sesama manusia.

“Ada 10 pesannya,” kata Dj kepada peserta yang hadir. Di antara pesan itu adalah jangan menghina orang yang berbeda agama, jangan melecehkan, jangan mengganggu ibadah mereka, jangan merusak tempat ibadah mereka, jangan mengancam, selalu menolong orang dari agama apa pun yang terzalimi, dan beberapa pesan lain.

“Tulisan panjang itu kemudian dikirim dia ke berbagai grup Whatsapp (WA), mulai grup RT, alumni, paguyuban, dan masih banyak lagi,” tambah dia. Anggota grup yang merayakan Natal di grup banyak yang terharu dengan pesan tersebut.

Cerita Tari, Umi, dan Dj hanyalah sebagian dari cerita-cerita keberagaman yang disampaikan peserta. Kisah-kisah itu akan mereka tulis untuk kemudian dikurasi tim dari Solopos Institute agar bisa dipublikasikan di surat kabar maupun online.

Manajer Solopos Institute, Sholahuddin, mengatakan workshop literasi keberagaman digelar untuk mendiseminasikan nilai-nilai keberagaman kepada para guru. Harapannya para guru bisa menyebarkan nilai-nilai tersebut kepada rekan-rekan maupun siswa mereka.

“Program ini akan ditutup dengan festival literasi keberagaman yang akan diikuti siswa maupun guru. Dalam festival, ada berbagai macam lomba. Semua lomba itu tentunya bertema keberagaman,” kata Pimpinan Program Internalisasi Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme untuk Siswa dan Guru SMA/SMK di Soloraya di mana workshop literasi keberagaman untuk guru merupakan salah satu bagiannya.(Solopos/Ayu Prawitasari)

Sumber:https://www.solopos.com/orang-orang-yang-merawat-tanah-bineka-1234372