Siswa SMA mengikuti berbagai kelompok pencak silat, namun tak pernah terjadi konflik di antara mereka.
Term keberagaman sering diidentikkan dengan keberagaman antarumat beragama, toleransi, atau sejenisnya. Namun, saya tidak akan membicarakan hal tersebut. Saya justru akan berbicara mengenai pencak silat.
Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman saya menjadi seorang guru di sekolahan tempat saya mengajar saat ini, yaitu SMAN Kerjo. Dua tahun awal saat saya mengajar di sekolah tersebut adalah perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam.
Banyak pengalaman yang saya dapatkan selain perjalanan yang cukup jauh tersebut. Salah satunya adalah pengalaman saya mengamati harmoni keberagaman antaranggota perguruan silat yang merupakan murid-murid saya sendiri.
Apa yang terbersit di pikiran orang saat berbicara tentang perguruan silat? Kumpulan orang dengan kekompakan yang tinggi, emosi yang meninggi antaranggota, atau berita keributan antarperguruan silat? Ini seperti yang diberitakan di Solopos pada 26 dan 29 Juli 2021 lalu.
Media itu memberitakan mengenai bentrokan antarperguruan silat di Mojogedang dan konvoi yang dilakukan anggota salah satu perguruan silat di Sragen. Berbicara tentang perguruan silat untuk orang awam seperti saya memang tak jauh dengan stigma keributan atau pembuat onar.
Namun, stigma negatif yang saya genggam terhadap perguruan silat mulai luntur bahkan hilang setelah saya menjadi guru di SMAN Kerjo. Saya baru tahu bahwa banyak murid saya yang menjadi anggota perguruan silat dari foto untuk buku tahunan siswa.
Di sekolah tempat saya mengajar ada ekstrakurikuler pencak silat. Ketika sesi foto dilaksanakan, ternyata tidak hanya terdapat satu atribut perguruan silat yang dicantumkan. Murid-murid di SMAN Kerjo merupakan anggota di beberapa perguruan silat. Sebut saja Setia Hati Terate, Setia Hati Winongo, Kera Sakti, Pagar Nusa, Tapak Suci, dan lain-lain. Walau atributnya berbeda-beda, tetapi mereka bisa berbaur satu sama lain, bisa saling bercanda, dan bisa saling berinteraksi secara akrab.
Contoh kerukunan tersebut tidak hanya terjadi ketika sesi foto untuk buku tahunan siswa, melainkan juga dalam kehidupan kegiatan belajar-mengajar sehari-hari. Tidak pernah saya jumpai ada siswa yang berkelahi karena saling mengejek antarperguruan silat yang mereka ikuti.
Mungkin ada yang mengira kalau kerukunan dan keakraban mereka hanya terjadi di lingkungan sekolah. Namun, saya sudah membuktikan bahwa kerukunan dan keakraban mereka juga terjadi di luar lingkungan sekolah.
Sebelum pandemi, ketika proses belajar-mengajar masih normal, banyak saya jumpai murid yang nongkrong di warung depan pagar sekolah setelah bel pulang sekolah. Biasanya mereka menghabiskan senja dengan mengobrol diiringi derai tawa di mana-mana.
Mungkin siswa malu andai mereka berkelahi di sekolah gara-gara berbeda perguruan silat. Kalau perkelahian benar-benar terjadi, jelas bisa mencoreng nama perguruan silat masing-masing. Konsekuensi lain, siswa yang terlibat akan diberi hukuman berat oleh seniornya di perguruan silat tersebut.
Harapan saya sebagai guru semoga rasa malu yang dimiliki siswa agar selalu tertanam di benak mereka masing-masing. Dengan begitu harmoni di SMAN Kerjo tetap selalu terjaga. Saya jadi teringat band Padi yang berjudul Harmoni.
Kau membuatku mengerti hidup ini,
Kita terlahir bagi selembar kertas putih,
Tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai,
Dan terwujud harmoni… (Muhammad Isnaedhi)
Penulis adalah guru di SMAN Kerjo Kabupaten Karanganyar