Blog

Bancakan Weton: Tradisi yang Terlupakan

Ilustrasi makanan bancakan untuk selamatan

Lahir dan besar di suatu tempat tidak selalu membuat seseorang memahami tradisitradisi yang sudah hidup di sana puluhan atau bahkan ratusan tahun. Banyak tradisi yang terlupakan dan perlahan menghilang karena ditinggalkan.

Contoh yang paling nyata adalah saya sendiri. Saya menghabiskan sebagian besar hidup saya di sebuah kelurahan yang bernama Gemolong di Kecamatan Gemolong, Sragen. Apa yang saya ketahui tentang tradisi atau cerita-cerita legenda di tempat tinggal saya sangat sedikit atau bahkan nyaris tidak ada.

Jika tidak ada yang menanyakannya, warga setempat juga tidak banyak membicarakannya. Pernah suatu kali saya bertanya kepada ayah saya apakah ada tradisi semacam kenduri, sadranan, atau sedekah desa. Baru kemudian dia bercerita tentang tradisi sedekah desa yang dulu pernah dilakukan warga desa kami. Namun, tradisi itu sudah lama tidak dilakukan oleh warga setempat, tepatnya sejak 1979. Pada tahun tersebut bahkan saya belum lahir.

Maka tidak heran jika generasi saya tidak begitu mengenal tradisi-tradisi lama di desa saya yang sebenarnya masih bertahan di daerah-daerah lain. Saya menduga mungkin karena saya tinggal di sebuah dusun bernama Kauman yang identik dengan masjid besar dan masyarakat yang religius. Dalam lingkungan tersebut, saya lebih akrab dengan kegiatan pengajian atau kegiatan keagamaan lain dibandingkan tradisi-tradisi kejawen.

Meskipun begitu, sepanjang ingatan saya, saya pernah menemui tradisi yang masih dilakukan oleh salah satu warga di desa saya, yaitu bancakan weton. Suatu hari, saat saya masih berusia sekolah dasar, saya bermain di seorang teman yang tinggal di ujung gang.

Kala itu, keluarganya sedang memperingati hari weton (kelahiran) dan ibunya sibuk memasak sega bancakan. Sega bancakan tersebut berupa hidangan yang berisi nasi putih dan gudangan atau urap. Gudangan ini terbuat dari sayur daun pepaya, kacang panjang, dan tauge yang direbus. Campuran sayuran ini lalu dicampur dengan parutan kelapa muda yang diberi bumbu cabai, bawang putih, daun jeruk, dan sedikit kencur.

Makan Bersama

Selain itu, sega bancakan juga dilengkapi lauk berupa telur rebus yang dipotong setengah. Tak lupa ikan asin goreng atau biasa kami sebut dengan gereh ditambahkan di atasnya.

Sega bancakan tersebut kemudian dibungkus dengan daun jati atau daun pisang. Bungkusan nasi lalu dibagikan kepada warga di sekitar tempat tinggal kawan saya tersebut. Saya yang masih bermain di sana juga ikut menikmati hidangan yang cukup sederhana itu. Saya menikmatinya meskipun saat itu saya tidak terlalu suka memakan sayur daun pepaya yang pahit.

Ingatan itu masih menempel di kepala. Di situ muncul pertanyaan tentang arti weton dan mengapa harus diperingati. Dalam bahasa Jawa, weton memiliki arti hari kelahiran. Weton merupakan gabungan hitungan hari dalam kalender Masehi dengan hitungan hari dalam penanggalan Jawa. Hari dalam penanggalan Jawa terdiri atas lima hari pasaran, yaitu Wage, Legi, Pon, Pahing, dan Kliwon. Weton diperingati setiap 35 hari sekali sesuai hari pasaran dalam penanggalan Jawa. Karenanya, tidak seperti ulang tahun berdasarkan penanggalan masehi yang diperingati setiap tahun sekali, dalam penanggalan Jawa, ulang tahun seseorang diperingati setiap 35 hari sekali.

Bagi masyarakat Jawa, bancakan weton atau wetonan merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Selain itu, wetonan juga dijadikan sebagai tanda untuk meminta keselamatan dan keberhasilan dalam hidup. Konon, anak yang sering dibuatkan bancaan untuk memperingati wetonnya, akan memiliki hidup yang lebih baik dan terhindar dari mara bahaya.

Sega bancakan yang menjadi hidangan saat wetonan juga memiliki makna filosofis. Bancakan dalam bahasa jawa berarti rebutan. Jadi dapat diartikan sega bancakan merupakan nasi yang dimakan dengan rebutan atau keroyokan karena dihidangkan di atas nampan besar dan dimakan beramai-ramai.

Sejatinya, bancakan memang disajikan dalam satu wadah untuk disantap bersama-sama karena hal itu untuk memaknai kebersamaan yang tidak memandang status. Kaya, miskin, tua, muda, semua berkumpul bersama untuk merayakan hari kelahiran tanpa membeda-beda satu sama lain. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, tradisi wetonan ini mulai jarang ditemui. Bahkan saya sudah tidak pernah lagi mendengar ada tetangga yang mengadakan wetonan. Padahal tradisi tersebut bisa mengajarkan kepada masyarakat untuk saling berbagi kepada orang-orang di sekitar.

Budaya ini juga mencerminkan kerukunan dan semangat gotong-royong dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, dengan bancakan, masyarakat bisa berkumpul dengan satu sama lain tanpa memandang status karena berbagi makanan yang sama. Sudah selayaknya tradisi leluhur ini tetap dilestarikan agar generasi mendatang tidak kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia yang lekat dengan tradisi daerahnya.

 

HAFIDAH FACHRUNISA

Guru SMP Negeri 1 Tanon, Sragen