Melestarikan nyadran dan padusan adalah melestarikan tradisi.
Salah satunya adalah budaya milik masyarakat di Desa Watubonang. Mereka yang hidup di sana memiliki suatu budaya atau tradisi yang merupakan cerminan jiwa dan kepribadian masyarakat desa setempat. Tradisi masyarakat Desa Watubonang yang diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini disebut nyadran dan padusan. Dua tradisi tersebut diwariskan nenek moyang kepada masyarakat Desa Watubonang.
Kedua tradisi ini digelar sebelum ibadah puasa Ramadan. Kepribadian masyarakat Desa Watubonang tercermin dari tradisi nyadran dan padusan itu. Keduanya menjadi ciri khas yang mampu membedakan warga Desa Watubonang dengan warga di daerah lain.
Adat istiadat atau budaya suatu daerah merupakan ciri khas yang membedakan satu daerah dengan daerah lain yang pada akhirnya bisa menambah kekayaan atau khazanah budaya bangsa. Hal itulah yang disumbangkan Desa Watubonang, Kecamatan Tawangsari, Sukoharjo, kepada Indonesia.
Menelisik lebih jauh mengenai Desa Watubonang, desa itu adalah sebuah desa kecil yang letaknya di perbatasan Kecamatan Tawangsari dan Kecamatan Weru, Jawa Tengah. Desa ini memiliki sebuah tradisi unik yang telah dijalankan secara turun-temurun yang disebut dengan tradisi nyadran.
Tradisi nyadran adalah sebuah tradisi bersih desa yang dilaksanakan masyarakat Watubonang sebelum melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Tradisi ini dilaksanakan warga dalam bentuk kegiatan membersihkan lingkungan, mulai dari lingkungan tempat tinggal (rumah), membersihkan tempat ibadah dan jalan umum, hingga mengunjungi makam keluarga yang sudah meninggal sambil menabur bunga (nyekar dalam bahasa Jawa).
Tradisi nyadran menjadi tradisi tahunan yang dilaksanakan masyarakat desa Watubonang. Warga melakukan tradisi nyadran secara suka rela dan bergotong royong. Gotong-royong merupakan istilah yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya bekerja bersama-sama.
Warga Desa Watubonang melaksanakan tradisi nyadran dengan penuh kebersamaan. Saat nyadran, sesekali mereka saling melempar candaan untuk melupakan rasa lelah. Tua-muda, lelaki-perempuan, orang dewasa hingga anak kecil, semuanya bersuka cita membersihkan lingkungan dan membersihkan tempat ibadah, masjid khususnya.
Satu hal yang menarik dari tradisi ini adalah setelah warga selesai membersihkan lingkungan dan tempat ibadah, mereka lantas mencuci tikar serta karpet yang digunakan untuk beribadah di masjid. Tikar dan karpet itu mereka bawa bersama-sama ke sungai untuk kemudian direndam dan dicuci.
Pada saat mencuci tikar, mereka melakukan ritual padusan (bahasa Jawa) yang berarti mandi besar dan kungkum (berendam ) di sungai sebelum melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Jadi, sambil mencuci tikar, mereka melaksanakan ritual padusan. Hingga tibalah saatnya mereka menyantap makanan ringan atau sekadar minum yang telah disediakan. Makanan dan minuman ini juga disiapkan warga bersama-sama.
Untuk ritual padusan, warga mandi dan berendam di sungai sehari sebelum melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Dua tradisi ini merupakan tradisi unik yang merupakan kearifan lokal masyarakat Desa Watubonang. Saya berharap dua tradisi ini tetap menjadi tradisi yang tak ternilai sehingga bisa menambah kekayaan budaya Indonesia.
Tradisi nyadra dan padusan mengandung nilai-nilai moral dan spiritual yang bisa menjadi pedoman hidup bermasyarakat. Generasi muda wajib merawat dan melestarikannya. Bersih desaku, lestari budayaku…
Sri Handayani
Penulis adalah guru di SMK Negeri 3 Sukoharjo
Sumber:https://www.solopos.com/melestarikan-nyadran-dan-padusan-1232888?utm_source=terkini_desktop