Dalam hati kecil saya tertawa, tapi bukan menertawakan mereka. Tawa saya adalah tawa kepuasan karena saya merasa berhasil untuk mengenalkan keberagaman kepada anak didik.
Selanjutnya, hari itu, saya akan menyampaikan materi baru tentang diferensiasi sosial. Materi tersebut membuat saya bersemangat berjalan menuju kelas. Begitu banyak visi dan misi yang memenuhi otak untuk saya realisasikan. Hasrat ingin membagi pengetahuan begitu menggelora di dalam diri saya.
Diferensiasi berasal dari kata different yang berarti berbeda. Berkaitan dengan perbedaan, Indonesia merupakan negara yang istimewa. Terdapat beragam kelompok dalam masyarakat, baik secara dimensi vertikal maupun horizontal.
Dalam dimensi vertikal terdapat kelompok masyarakat upper class, middle class, dan lower class. Dalam dimensi horizontal, bisa kita dapati berbagai aspek yang membuat masyarakat menjadi berbagai kelompok. Perbedaan ras, etnis, klan, maupun agama merupakan hal yang begitu akrab di telinga kita.
Membahas mengenai perbedaan, setidaknya terdapat empat ras yang mendiami wilayah Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia memang ras Malayan mongoloid, tetapi kita juga dapat melihat ras lain yang merupakan warga negara Indonesia.
Saudara kita, etnis Tionghoa merupakan ras Asiatic mongoloid, saudara kita yang mendiami pulau Papua merupakan ras Melanesia. Terdapat pula ras Veddoid di pulau Sulawesi.
Etnis atau suku bangsa yang terdapat di Indonesia pun beragam. Menurut Koentjaraningrat, terdapat 195 suku bangsa di Indonesia. Tidak semua anggota masyarakat mengetahui tentang fakta tersebut sehingga seringkali memicu etnosentrisme, bahkan konflik antarsuku.
Dalam konteks etnis, terdapat begitu banyak klan. Klan merupakan sekelompok keluarga yang mengklaim memiliki keturunan yang sama. Contoh konkret klan di sekitar kita adalah marga, fam, ataupun trah.
Diferensiasi keempat adalah agama. Kita tahu Indonesia mengakui enam agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Jaminan untuk memeluk agama serta beribadah sesuai agama masing-masing tercantum dalam UUD 1945 Pasal 29.
Namun, kenyataan yang saya jumpai di lapangan belum sepenuhnya sesuai dengan ekspektasi. Ada beberapa peserta didik yang belum mengetahui bahwa terdapat beragam agama yang tidak sama dengan agama yang mereka peluk.
Dalam kasus lain, mereka mengetahui bahwa terdapat pemeluk agama lain, tetapi merasa aneh ketika mereka menjumpai pemeluk agama lain yang berbeda dengan mereka.
Hal inilah yang mendasari saya untuk mencoba berbuat sesuatu yang saya harap dapat berdampak positif. Saya tidak ingin menilai sikap yang anak-anak tunjukkan baik atau salah. Saya juga tidak ingin mencari-cari siapakah pihak yang bersalah dalam kasus seperti itu.
Di sini, tugas saya adalah mencoba mengulik lebih dalam mengapa anak-anak bisa bersikap seperti itu. Dari temuan yang saya dapatkan, saya akan bisa menemukan solusi solutif agar mereka menyadari bahwa kita hidup dalam negara majemuk.
Bercerita
Anak-anak bisa bersikap bijak dalam menyikapi keberagaman. Awal mula penyampaian materi, saya mencoba membuat sebuah kuis yang sangat sederhana menggunakan gambar. Siswa harus mencocokkan antara gambar rumah ibadah dengan pemuka agama.
Saya dapat melihat antusiasme anak-anak ketika mereka dapat menyelesaikan dengan waktu tercepat. Saya pun memberi penguatan dan apresiasi kepada pemenang. Itu artinya siswa tersebut memiliki pengetahuan cukup luas.
Sesi berikutnya, saya mencoba untuk melakukan tanya jawab. Saya bertanya kepada para siswa apakah mereka memiliki saudara, teman, atau tetangga yang berbeda agama. Berbagai jawaban muncul. Ada yang menjawab iya, ada pula yang hanya diam saja. Tidak apa jika memang siswa belum punya apabila kenyataannya seperti itu.
Siswa yang memberi pengakuan memiliki saudara, teman, atau tetangga yang berbeda agama, saya persilakan untuk menceritakan pengalaman mereka ketika tiba perayaan hari raya. Kegiatan atau tradisi apa saja yang dilakukan, bagaimana perasaan mereka, dan berbagai hal yang ingin mereka bagikan melalui cerita.
Ada yang ikut berbahagia, ada yang merasa biasa saja, bahkan ada yang raut wajahnya berubah sinis saat mendengar rekan mereka bercerita. Latar belakang pendidikan sebelumnya, di mana mereka berdomisili, ataupun pola pengasuhan, serta didikan orang tua sangat berpengaruh dalam menciptakan sikap siswa dalam menghadapi keberagaman.
Mereka yang dengan mudah dan santai menceritakan pengalaman hidup dalam keberagaman ternyata terbiasa dengan kemajemukan. Bertolak belakang dengan mereka yang tampak kesulitan dalam bercerita. Mereka mengakui bahwa mereka masih merasa aneh dengan keberagaman.
Saya pun melanjutkan kegiatan dalam menyampaikan materi. Saya melakukan pembagian anggota kelas menjadi enam kelompok secara random.
Setiap siswa tidak diperkenankan untuk bertukar kelompok. Para siswa semakin bersemangat dan penasaran dengan apa yang akan saya sampaikan. Setelah kelompok terbentuk, maka ketua kelompok dipersilakan untuk mengambil gulungan kertas yang sudah saya persiapkan. Di kertas itu ada tulisan tempat ibadah yang harus mereka kunjungi.
Seketika suasana kelas menjadi cukup riuh. Ada kelompok yang bertepuk tangan bahagia, ada pula yang tampak bingung dan saling bertanya, dan ada pula yang terlihat ragu.
Kelas menjadi sangat dinamis dengan reaksi dari siswa. Saya menyampaikan hal-hal apa saja yang harus mereka kerjakan. Ya, mereka mendapat tugas untuk mengunjungi rumah ibadah sesuai yang tercantum dalam kertas undian.
Tidak perlu mencari lokasi yang jauh dari sekolah ataupun tempat tinggal. Surat izin dan pengantar dari sekolah sudah saya sediakan sehingga anak-anak dapat berkunjung secara resmi dan nyaman. Waktu pengerjaan dalam rentang satu pekan.
Hari berganti dan tiba saatnya untuk pengumpulan tugas. Tidak seperti ekspresi pertama mereka dulu yang heterogen, kali ini mereka berekspresi nyaris sama. Semua bahagia. Mereka seolah-olah berlomba agar mendapat kesempatan kali pertama untuk mempresentasikan hasil kunjungan mereka.
Kembali lagi saya mengundi urutan kelompok. Satu per satu setiap kelompok mempresentasikan hasil pekerjaan mereka. Setiap siswa berhak untuk menanyakan apa yang ingin mereka ketahui kepada kelompok lain.
Saya begitu senang melihat anak-anak saling bertukar pengalaman. Wawasan dan pikiran mereka menjadi terbuka dengan hal-hal baru yang diperoleh.
Banyak pengalaman baru yang mereka dapatkan dari kunjungan yang telah dilakukan. Ada yang mengaku mereka memperoleh tambahan pengetahuan. Ada yang mengaku berhasil menghapus stigma negatif mereka pada pemeluk agama lain.
Ada pula yang begitu bangga karena dapat mengunjungi tempat ibadah agama lain untuk kalinya pertama dan merasa mereka sedang berwisata. Bahkan ada peserta didik yang dengan tawa renyah mengeluarkan celetukan, “Ternyata dolane kula kirang tebih nggih Bu.. Kula nembe ngertos nek ten mriki wonten rumah ibadah macem-macem. Lha kula ngertose namung mejid kalih grejo Bu hehehhe..”. (Ternyata bermain saya kurang jauh ya Bu. Saya baru mengetahui di sini terdapat beragam rumah ibadah. Selama ini saya hanya mengetahui masjid dan gereja Bu. Hehehe…).
Dalam hati kecil saya tertawa, tapi bukan menertawakan mereka. Tawa saya adalah tawa kepuasan karena saya merasa berhasil untuk mengenalkan keberagaman kepada anak didik.
Mereka semakin menyadari bahwa mereka hidup dalam kenyataan, ada berbagai perbedaan di sekitar mereka. Perbedaan yang ada bukan untuk diperdebatkan, namun untuk dihargai dan dihormati sehingga harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terealisasi.
Rini Sekar Respati
Penulis adalah guru di SMAN 1 Sukoharjo
Sumber: https://www.solopos.com/bermain-saya-ternyata-kurang-jauh-1246852?utm_source=terkini_desktop