Tiap Lebaran Ketupat tiba, ibu selalu membagi ketupat opor untuk keluarga yang keturunan Tionghoa, sebaliknya saat Tahun Baru Imlek, kami berlimpah kue keranjang dari mereka.
Solopos.com, SOLO—Langit masih gelap, azan subuh berkumandang dari masjid di dekat rumah. Sesekali terdengar kokok ayam jantan.
Ibuku mondar-mandir di dapur. Sesekali dia melihat jam dinding sambil geleng gelang kepala.
Pagi ini, Selasa, 18 Mei 2021. Ini adalah hari yang penting bagi keluarga kami, juga bagi masyarakat di desa kami, Desa Ngepringan, Serenan, Juwiring, Klaten.
Tujuh hari setelah lebaran Idulfitri, masyarakat di daerah kami akan melaksanakan Lebaran ketupat. Setiap orang akan memasak ketupat dan leganda (semacam ketupat dari beras ketan) untuk dimakan bersama seluruh keluarga.
Ada beberapa warga yang masih melestarikan tradisi kondangan ketupat. Keluargaku juga. Tapi, kami membuat ketupat dan leganda tidak untuk kondangan atau tradisi sejenis. Hari ini, kami akan berbagi makanan dengan saudara kami, etnis Tionghoa.
Di dapur, ibuku seperti pemain utama sebuah pertunjukan. Dapur yang penuh jelaga, di sana-sini banyak barang dan bahan masakan. Di sudut dapur, banyak kayu bakar ditumpuk, persiapan untuk memasak hidangan istimewa.
Asap mengepul dari dua tunggu yang terbuat dari batu bata. Di atasnya, masing masing ada dandang besar yang berisi ketupat dan leganda. Belum lagi di depan ada dua kompor gas yang juga menyala. Dua panci bertengger di atasnya. Yang satu berisi sambal goreng dan yang satu berisi opor ayam.
Tungku dan kompor yang menyala itu menjadi perhatian khusus ibuku. Ibuku selalu wara-wiri di antara tunggu dan kompor sambil sekali kali mengaduk opor serta sambal goreng. Saat matahari akan segera bersinar, ibuku bertambah gusar.
“Tari…Tutik…cepat bangun, segera Subuh, bantu ibu di dapur.” Ibu meneriaki kami. Aku dan adiku bergegas ke dapur.
Pagi ini, kami memasak hidangan istimewa, yaitu ketupat opor dan sambal goreng. Ada pula leganda, makanan khas daerah kami. Hari ini kami akan membagi ketupat beserta sambel goreng dan opor serta leganda kepada saudara, kerabat, teman, dan tetangga etnis Tionghoa yang tinggal di Solo dan Sukoharjo. Kebiasaan ini kami lakukan sudah lama, dimulai sejak 2000.
Ketika itu adiku menikah dengan keturunan Tionghoa. Mereka tinggal di lingkungan etnis Tionghoa di daerah Jebres dan anak-anak mereka bersekolah di TK, SD, SMP, dan SMA Widya Wacana. Kondisi itu membuat kami akrab dengan etnis lain. Jurang perbedaan menjadi semakin menipis.
Aku dan adiku akan mengirim ketupat dan leganda ke Sukoharjo dan ke Solo. Selain ke Mak Lin, mertua adiku yang tinggal di Ngemplak Solo, kami juga ke tempatnya Mami Nando yang tinggal di daerah Pasar Legi.
Perjalanan kami juga mengarah ke Solo Baru Sukoharjo, rumah Bu Ratna, salah satu orang tua murid privatku. Selanjutnya ke teman teman adikku yang lain. Mungkin ketupat dan leganda bukan barang yang berarti, tetapi ketulusan kami dalam menjaga persahabatan tak dapat dinilai dengan materi.
Sebaliknya, setiap tahun baru Imlek, mereka juga mengirim hidangan khas Imlek, yaitu kue keranjang untuk keluargaku. Adiku mendapat dari teman, tetangga, dan saudara ipar. Aku mendapat dari orang tua murid les yang hampir semuanya keturunan Tionghoa. Karena banyaknya kue keranjang yang kami terima, aku akan membawa ke kantor.
Aku membaginya dengan teman teman, juga tetangga kami di desa. Kuharap semua mendapat bagian. Hal ini memyebabkan hubungan kami menjadi suatu harmoni. Keindahan yang dikandung sebuah keberagaman.
Mungkin tukar-menukar makanan adalah hal yang sederhana dan lumrah terjadi di masyarakat kita. Namun, dengan momen yang pas, yaitu pada perayaan hari raya kami masing masing, menjadikan kebiasaan ini menjadi hal yang membahagiakan.
Kami akan bisa menghargai keberadaan mereka, begitu juga sebaliknya. Semua menghormati hari raya agama masing masing.
Di Solo, harmonisasi berupa saling memghormati keberagaman dengan etnis Tionghoa sudah lama dilakukan. Salah satunya dengan acara Grebeg Sudiro. Grebeg Sudiro adalah semacam pawai yang dilakukan warga kelurahan Sudiroprajan. Di Sudiroprajan ada banyak warga keturunan Tionghoa.
Grebek Sudiro dilakukan tiap tahun, berdekatan dengan saat tahun baru Imlek tiba. Perayaan ini akan memdekatkan warga keturunan dan warga pribumi.
Dengan adanya Grebeg Sudiro, keberagaman bukan menjadi suatu kendala dalam bermasyarakat. Masyarakat Solo, terutama warga Kecamatan Jebres, dapat hidup berdampingan dan rukun dengan etnis Tionghoa.
Aku, keluargaku, dan teman-temanku berusaha menjaga kebiasaan baik ini. Kami yakin dengan saling berbagi makanan khas hari raya, akan membuat persahabat itu menjadi lebih erat. Membuat kami lebih menghargai etnis yang lainnya.
Langit di barat tampak memerah. Matahari bersiap menuju peraduan saat aku dan adiku sampai di rumah sehabis mengantarkan banyak ketupat dan leganda. Kedatangan kami disambut dengan bahagia seisi rumah. Ya, kami semua bahagia sebab hari ini kami bisa berbagi dengan saudara dan sahabat-sahabat kami.
Lestari
Penulis adalah guru di SMAN 3 Solo.
Sumber:https://www.solopos.com/ketupat-dan-kue-keranjang-1257682?utm_source=terkini_desktop