Perbedaan agama bukan menjadi penghalang manusia memberikan penghormatan terakhir kepada manusia yang lain.
Solopos.com, SOLO—Hari itu, Minggu pagi, matahari bersinar cukup cerah dengan sedikit awan yang menghiasi langit. Januari sebenarnya sudah memasuki musim penghujan.
Seperti hari Minggu yang lain, aku selalu sibuk di rumah. Aku adalah seorang ibu bekerja dengan tiga anak balita dan 1 anak balita besar (baca: partner of life). Ritual Minggu pagi dengan seabrek tugas kenegaraan para emak seolah tak kunjung usai.
Setelah beberapa jam bergulat dengan semua rutinitas Minggu pagi yang memeras tenaga dan kata-kata, kuambil gawai di meja yang sedari malam tak terjamah. Ratusan chat Whatsapp memenuhi gawai dengan ruang penyimpanan yang hampir habis karena minimnya slot penyimpanan.
Kubaca satu per satu chat di gawaiku, hingga akhirnya mata ini tertuju pada sebuah kiriman tangkapan layar di salah satu grup tempatku bekerja.
Innalilahi, spontan kuucap kata itu ketika kubaca isi tangkapan layar tersebut.
Tangkapan layar tersebut mengabarkan telah berpulangnya ayah dari salah satu rekan kerjaku. Rekan kerja yang biasa kupanggil dengan panggilan ‘kung’ karena beliau memang seusia ayahku. Kubaca seksama berita lelayu itu. Pukul 14.00 WIB tertulis di sana.
“Baiklah, aku bisa bersiap sebelum itu,” pikirku. Ketika kucari alamat rumah duka, tak kutemukan nama kampung alamat rumah duka. Yang tertera hanyalah alamat sebuah tempat ibadah di kotaku. Sebuah tempat ibadah yang belum pernah kukunjungi, bahkan mungkin tak akan pernah kukunjungi karena memang aku bukan penganut agama yang sama.
Aku berbeda keyakinan dengan rekan kerjaku itu. Namun demikian, tak pernah perbedaan itu melunturkan pertemanan kami karena kami tahu dan meyakini bahwa eratnya hubungan makhluk dengan Tuhannya tercermin dari baiknya hubungan manusia dengan sesamanya.
Yang terlintas di pikiranku saat itu hanyalah bagaimana aku harus datang melayat? Kuhubungi beberapa rekan untuk memastikan apakah benar rumah duka tidak tertera di alamat tempat tinggal beliau. Salah satu rekan kerjaku, mengatakan bahwa memang benar jenazah disemayamkan di rumah ibadah itu sebelum akhirnya dikebumikan.
“Nanti kita datang pukul 13.00 WIB ya Mbak, soalnya nanti acara kebaktiannya satu jam sebelum pemakaman,” ajak dia. Berbagai pertanyaan kemudian muncul di benakku. Haruskah aku datang melayat ke tempat ibadah itu? “Bolehkah aku memasuki rumah ibadah itu?
Matahari semakin bergeser ke arah barat. Jam dinding usang di satu sudut rumahku menunjukkan pukul 12.15 WIB. Setelah merampungkan semua rutinitas Mingguku, saatnya untuk menghilangkan kepenatan tubuhku dengan guyuran air PDAM yang menyegarkan meskipun untuk berlama lama menikmati segarnya air adalah sebuah kemustahilan bagi seorang ibu muda sepertiku.
Kubuka lemari dan kupilih salah satu pakaian dengan warna gelap. Sudah menjadi sebuah kebiasaan di daerahku untuk mengenakan pakaian berwarna gelap ketika menghadiri pemakaman.
Kuambil air wudu dan segera melaksanakan Salat Zuhur sebelum berangkat. Suara kecil anak sulungku mengingatkanku untuk segera berangkat melayat karena waktu telah menunjukkan pukul 12.45 WIB. Bergegas kuambil kunci motorku dan memacu kendaraanku menuju tempat di mana jenazah disemayamkan.
Karena aku belum tahu persis lokasi rumah ibadah itu, kuhidupkan aplikasi Google maps di gawaiku. Dan seperti biasa, aku sangat berterimakasih karena aplikasi ini mampu menunjukkan tempat yang kutuju dengan sangat tepat. Berada di depan lokasi, keraguan mulai muncul di benakku. Haruskah aku masuk?
Dengan penampilanku ini, mereka pasti mengenali bahwa aku memiliki keyakinan berbeda. Kutengok kanan-kiri untuk mencari salah satu rekan di sana, namun tak juga kutemui. Seseorang memanggilku dan memintaku untuk memasuki lokasi. Akhirnya kuberanikan diri untuk memarkirkan kendaraanku di dalam lokasi.
Beberapa petugas yang membantuku memarkirkan kendaraan langsung menyambutku dengan hangat. “Pun Bu, mriku mawon, mengke kula tata, Mangga. Pinarak mlebet, mios mriki nggih saged,” ucapnya dalam bahasa Jawa. (Di sini saja Bu. Nanti saya tata. Silakan masuk, lewat sini bisa). “Njih Pak, kula nenggo rencang sekedap njih,” timpalku. (Iya Pak. Saya menunggu teman dulu ya).
Dari jarak beberapa puluh meter, aku melihat salah satu rekan kerjaku sudah ada di dalam. Kuhampiri dia dan aku duduk disampingnya. “Pak El di depan Mbak, mangga kalau mau ke depan dulu,” ucap dia. Kulangkahkan kakiku memasuki area rumah ibadah itu dan menyampaikan ucapan bela sungkawa. Aku pun kembali duduk dengan rekan kerjaku yang telah menunggu.
Beberapa saat kemudian, datanglah beberapa rekan kerjaku yang lain. Satu per satu mereka menyampaikan ucapan bela sungkawa. Beberapa rekanku tidak memperoleh kursi untuk duduk. Melihat itu, sejumlah kerabat serta petugas gereja bergegas mengambil kursi dari dalam gudang penyimpanan agar kami semua duduk.
Acara pun dimulai dengan berbagai ritual yang asing bagiku. Setelah kurang lebih satu jam, saatnya jenazah diberangkatkan ke persemayaman terakhir.
Beberapa pria membawa peti berwarna putih memasuki mobil ambulans yang terparkir di luar. Saatnya untukku dan rekan-rekan berpamitan. Aku berjalan menuju tempat parkir motor dan bergegas pulang. Kekhawatiran tentang tata cara melayat hilang sudah.
Di sepanjang perjalanan pulang, terlintas di benakku sebuah pelajaran baru tentang toleransi hari ini. Ternyata bukan hal yang tabu untuk menyampaikan rasa bela sungkawa di tempat yang tak sama dengan kita. Bukan untuk mengikuti cara beribadahnya, namun sebagai wujud rasa hormat pada sesama sebagai makhluk ciptaan-Nya. Inilah indahnya kerukunan. Menghormati, tanpa harus saling menyakiti.
Nin Sarih
Penulis adalah guru di SMAN Kerjo
Sumber:https://www.solopos.com/melayat-2-1269436?utm_source=terkini_desktop