Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the learnpress domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the learnpress domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the thim-core domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the woocommerce domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114
Cerita di Kelas Asa – Solopos Institute

Blog

Cerita di Kelas Asa

Kelas Asa memberi pelajaran tentang perundungan yang memberikan luka pada korban maupun pelaku.

Solopos.com, SOLO—Rindu berubah menjadi benci. Itulah yang seringkali terjadi dalam kehidupan manusia. Namun, apa yang dirasakan gadis remaja itu adalah sebaliknya. Kebencian pada teman-temannya berubah menjadi sesuatu yang dia rindukan.

Tanpa rasa benci teman-temannya, mungkin dia tidak akan menjadi seperti sekarang. Kebencian mereka menjadi awal keberhasilannya. Dia tersenyum simpul. Ingin rasanya mengulang hal yang tidak menyenangkan sekaligus terasa lucu baginya.

Tanpa rasa benci teman-temannya, mungkin dia tidak akan menjadi seperti sekarang. Kebencian mereka menjadi awal keberhasilannya. Dia tersenyum simpul. Ingin rasanya mengulang hal yang tidak menyenangkan sekaligus terasa lucu baginya.

Gadis itu biasa dipanggil Asa. Asa Mulia nama lengkapnya. Asa sedang menimba ilmu di sekolah menengah di sebuah kota kecil. Mengayuh sepeda warna biru, dia selalu bersemangat. Sepeda itu memang salah satu penyemangatnya untuk belajar dengan rajin. Nilainya seringkali menjadi yang terbaik di setiap mata pelajaran.

Namun, hidup tak semulus pikirannya. Bersekolah rajin, berprestasi bagus dengan harapan diterima di perguruan tinggi impian, tidak berjalan seindah di pikiran. Persoalan datang, itu diawali dari teman-teman sekelasnya yang meminta contekan setiap kali ulangan.

Apabila hal tersebut terjadi satu-dua kali, baiklah, dia memaklumi. Namun yang terjadi, permintaan contekan hampir setiap hari. Benar-benar memprihatinkan. Bukankah para guru selalu meminta mereka jujur mengerjakan ulangan dengan kemampuan sendiri?

Asa mulai gundah. Jika menuruti keinginan teman-temannya sekelas, dia merasa sangat berdosa. Bukankah dia juga menjerumuskan teman-temannya, membuat mereka tidak jujur dan makin malas belajar.

Asa akhirnya membuat keputusan. Dia harus berani menolak permintaan teman-temannya. Konsekuensinya, teman-teman akan membencinya.
Yang dia khawatirkan terjadi. Teman-teman sekelasnya tidak ada yang mau berbicara dengannya. Teman sebangkunya pun pindah ke kursi yang masih kosong di belakang kelas. Alhasil, duduklah Asa sendirian.

Tidak ada satu pun teman yang mau berdekatan, apalagi bicara dengannya. Persoalan lain, dia dikeluarkan admin grup Whatsapp di kelasnya. Asa menguatkan hati untuk bisa melalui semua itu.

Hingga akhirnya seorang guru bertanya padanya. Guru itu heran melihat Asa tidak mengerjakan PR. Padahal Asa memang benar-benar tidak tahu ada PR pada hari itu. Guru tersebut merasa ada yang aneh. Dia kemudian melihat grup Whatsapp kelas tersebut.

Ada satu nomor ponsel yang dikeluarkan admin kelas tanpa ada nomor yang berbeda yang dimasukkan. Setelah melihat siapa pemilik nomor handphone yang dikeluarkan, guru itu baru tahu bahwa nomor tersebut milik Asa. “Apa yang terjadi di kelas ini,” pikir guru itu.

Keesokan harinya, guru tersebut memasuki kelas sesuai jadwal mengajar. Pelajaran dimulai seakan-akan tidak ada yang terjadi di kelas tersebut.
Saat guru tersebut memberikan pertanyaan untuk Asa, Asa bisa menjawabnya dengan benar dan lancar. Sementara, siswa yang lain menjawab salah atau terbata-bata.

Setelah menjelaskan beberapa hal penting dari materi pelajaran, guru tersebut memberikan soal latihan dan meminta ketua kelas untuk menemuinya di ruang guru setelah pelajaran selesai. Ketua kelas itu kemudian menemui guru tersebut.

Ketua Kelas Dipanggil

Saat sang guru bertanya alasan grup kelas mengeluarkan Asa, ketua kelas itu menuding Asa pelit, tidak mau bekerja sama dengan teman-temannya. Guru itu kemudian mempertanyakan sikap teman-teman Asa yang meminta contekan.

Ketua kelas itu menjawab dengan menunduk. Dia mengakui sikap itu tidak benar. Guru tersebut meminta si ketua kelas tidak takut kepada teman-temannya serta memasukkan kembali nomor ponsel Asa. Apabla ada teman yang menyalahkan si ketua kelas karena hal tersebut, yang bersangkutan dipersilakan bertanya langsung kepada guru.

Pada waktu yang lain, guru tersebut juga bertanya pada Asa tentang perlakuan teman-temannya. Asa tidak mau berbicara pada mulanya. Namun, guru itu menandaskan hal penting agar tak ada siswa yang mengulang kesalahan di masa mendatang.

Asa lantas bercerita tentang kebiasaan teman-teman yang sering merundungnya, seperti “Hei, anak pintar tidak boleh bicara di sini. Kamu tidak pantas berbicara dengan kami, kami bodoh dan kamu pintar. Tidak selevel.”

Gangguan lain adalah tas, sepatu, pena, maupun peralatan sekolah Asa kerap kali disembunyikan teman-temannya. Asa sering menangis saat menghadapi perilaku teman-temannya.

Asa juga tak bisa menyantap bekal makanan. Begitu dia mengeluarkan bekal saat istirahat, teman-temannya selalu mengerumuninya dan memakan bekal itu. Mereka mengatakan anak yang pintar selalu berbagi makanan. Pada akhirnya, Asa selalu tidak sempat memakan bekal karena sudah habis disantap teman-temannya. Beruntung ada seorang teman yang tidak tega melihat Asa. Dia selalu membagi kue serta nasi yang dibawanya.

Mendengar penjelasan Asa, guru tersebut kemudian mengambil sikap. Saat masuk kelas Asa, guru itu mengajak para siswa mengucap syukur. Dia bercerita ada remaja yang difabel sedari kecil sehingga tidak memungkinkan dia berangkat sekolah. Ada pula remaja yang sakit dan harus opname di rumah sakit. Di lain sisi, ada remaja yang sakit mental atau kejiwaannya karena dampak dari perundungan yang dilakukan teman-temannya sehingga harus dirawat di rumah sakit jiwa.

Di tempat lain, ada anak remaja yang berada di penjara dikarenakan dia pelaku perundungan sehingga harus menerima hukuman dari perbuatan yang dia lakukan.

Guru itu kemudian menjelaskan bahwa menghina atau mengejek merupakan bentuk intimidasi/kekerasan dalam bentuk verbal/kata. Ada juga yang bentuknya intimidasi/kekerasan dalam bentuk fisik, seperti memukul, meninju. Ada juga gurauan tapi membuat celaka, seperti menarik kursi teman sehingga teman tersebut terjengkang dan mengalami kerusakan saraf tulang belakang.

Perundungan berasal dari kata rundung kemudian menjadi kata kerja merundung. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merundung berarti: 1. Mengganggu, 2. Menimpa, 3. Menyakiti fisik maupun psikis. Komisi Perlindungan Anak Indonesi (KPAI) pada 2014 lalu menyampaikan perundungan merupakan fenomena yang sering terjadi dan menjadi masalah yang sangat serius. Pada 2013 terdapat 181 kasus yang berujung pada kematian, 141 korban menderita luka berat, dan 97 kasus korban menderita luka ringan.

Sementara data lain KPAI menyebutkan selama 2011 hingga 2019 setidaknya ada 37.381 laporan perundungan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.473 kasus disinyalir terjadi di dunia pendidikan. Sementara itu, Organization of Economic Co-operation and Development [OECD] dalam riset Programme for Internasional Students Assessment [PISA] pada 2018 mengungkapkan sebanyak 41,1% murid di Indonesia pernah mengalami perundungan.

Pada 2018 tersebut, Indonesia berada di posisi ke-5 dari 78 negara dengan murid yang mengalami perundungan paling banyak. Tidak heran apabila sanksi berat diberlakukan bagi pelaku perundungan sesuai Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan UU itu, setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Yang melanggar akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan atau denda paling banyak Rp72 juta. Apabila menimbulkan luka berat, pidana bisa sampai 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp100 juta. Apabila korbannya meninggal, maka pelaku dihukum 15 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp3 miliar.

Tindak Kriminal

Guru itu kemudian mengajak siswa di kelas tersebut untuk mempraktikkan permainan ME or YOU sebagai ice breaking. Permainan ME or YOU bertujuan agar para siswa memiliki kesadaran yang tinggi bahwa perundungan adalah tindakan kriminal yang sangat merugikan orang lain dan harus dihindari.

Syarat permainan ini dilakukan dengan kesungguhan bermain peran, tidak boleh tertawa, atau bergurau. Penyebab tindakan perundungan dituliskan di secarik kertas.

Dua siswa saling berpasangan. Salah satu siswa menjadi korban perundungan dan siswa yang lain menjadi pelaku. Mereka mencoba melakukannya bergantian satu sama lain. Tentu yang dilakukan hanyalah acting belaka sehingga tidak ada kekerasan dalam arti sesungguhnya.

Pada akhir pelajaran, guru itu meminta dua siswa maju, mempraktikkan pelaku dan korban perundungan. Kedua siswa tersebut melakukannya bergantian. Tepuk tangan mewarnai akhir dari acting kedua siswa tersebut.

Selanjutnya guru itu menanyakan kepada semua siswa, adakah yang ingin menjadi korban atau pelaku perundungan dalam kehidupan nyata? Ternyata semuanya menyatakan tidak karena sama-sama menderita. Tidak ada siswa yang ingin menjadi korban apalagi pelaku kejahatan atau kriminalitas karena akibat yang ditimbulkan sama beratnya.

Guru itu kembali mengajak semua siswa untuk mengevaluasi diri, meninggalkan segala bentuk perilaku buruk, dan berusaha bersikap baik kepada siapa pun, baik perkataan maupun perbuatan. Kebaikan kita kepada orang lain akan mendatangkan kebaikan untuk diri sendiri. Demikian sebaliknya, jika kita berperilaku buruk kepada orang lain artinya kita harus siap menerima akibatnya.

Sebagaimana falsafah Jawa mengatakan “Sapa nandur bakal ngundhuh” artinya siapa pun yang melakukan kebaikan akan menerima kebaikan pula. Sebaliknya, siapa yang menanam hal negatif akan menuai keburukan pula.

Seiring berjalannya waktu, kelas tersebut menjadi kelas dengan siswa-siswi yang sangat kompak. Mereka saling memaafkan satu sama lain. Asa yang tadinya korban perundungan bersemangat memotivasi teman-temannya dalam belajar.

Dia selalu membantu kesulitan teman-temannya berkaitan dengan materi pelajaran dengan berdiskusi bersama. Asa kembali dimasukkan dalam grup Whatshapp kelas. Tidak ada lagi siswa yang meminta contekan jawaban kepada Asa.

Tindak perundungan tidak terjadi lagi. Semuanya bersemangat dalam belajar. Pada akhirnya mereka lulus dari sekolah menengah dengan nilai yang memuaskan. Asa diterima di kampus impiannya, demikian pula dengan teman-teman sekelasnya.

Nurjannah Wulan Asri

Penulis adalah Guru di SMKN 3 Sukoharjo

Sumber: https://www.solopos.com/cerita-di-kelas-asa-1269428?utm_source=terkini_desktop