Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the learnpress domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the learnpress domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the thim-core domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the woocommerce domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114
Bancaan Weton – Solopos Institute

Blog

Bancaan Weton

Minggu sore 20 tahun yang lalu di sebuah gang, di kampung sekitar Masjid Baitussalam Gemolong, Kelurahan Gemolong, Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen, yang dikenal sebagai kampong Kauman, banyak anak-anak usia SD bermain sepeda. Memang sudah menjadi kebiasaan anak-anak di sana, setelah mandi sore anak-anak suka bermain sepeda di sepanjang gang depan rumah mereka.

“Bancakan… bancakan…,” teriak Danang sambil mengayuh sepedanya. Anak-anak yang lain seketika menoleh ke sumber suara sambil bertanya “Di tempat siapa?” Kemudian Danang menjawab “Di tempat Bu Parimin.” Selanjutnya mereka kompak mengarahkan sepedanya ke rumah Bu Parimin, sang penyelenggara bancakan.

Bu Parimin merupakan salah satu warga Kampung Kauman yang masih melaksanakan tradisi Jawa seperti siraman saat anaknya akan melakukan pernikahan, tingkeban saat anaknya hamil tujuh bulan, brokohan saat anaknya baru melahirkan, termasuk bancakan weton bagi cucunya.

Saya yang duduk di teras rumah peninggalan orang tua yang kebetulan satu gang dengan rumah Bu Parimin menjadi tertarik untuk mengikuti bancakan, setelah melihat anak-anak yang antusias menuju rumah Bu Parimin. Yang terbayang di benak saya adalah nasi urap yang masih hangat dengan sayuran yang bermacam-macam. Bagaikan kembali di saat-saat kecil dulu, yang selalu berlarilari untuk ikut bancakan karena makanan yang dibagikan serba hangat dan lezat.

“Wetonnya siapa Budhe?” tanya saya kepada Bu Asyadi, yang saat itu ikut mengitari nasi tumpeng dengan urap beserta perlengkapannya.

“Anaknya Didik,” jawab dia. Didik adalah anak kelima Bu Parimin. Cucu Bu Parimin lahir pada Minggu Wage 35 hari yang lalu. Jadi Bu Parimin menyelenggarakan bancakan untuk memperingati hari lahir cucu nya yang berusia 35 hari. Masyarakat di sana menyebutnya bancakan weton.

Tradisi bancakan weton banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk rasa syukur dan meminta keselamatan kepada Allah. Arti bancakan menurut KBBI adalah selamatan, kenduri atau hidangan yang disediakan dalam selamatan, sedangkan weton dari kata metu yang berarti lahir.

Bancakan weton/wetonan merupakan peringatan hari lahir berdasarkan perhitungan kalender Jawa yang berputar setiap 35 hari (orang Jawa menyebutnya selapan). Artinya dalam tradisi Jawa, peringatan kelahiran diselenggarakan tiap 35 hari sekali berdasarkan hari kelahiran. Yaitu perpaduan antara hari pada penanggalan Masehi dengan hari pasaran. Contohnya Senin Pon, Selasa Wage, Rabu Kliwon, dan sebagainya.

Mengutip dari Solopos.com, bancakan weton adalah peringatan hari lahir berdasarkan saptawarna dan pancawarna yang merupakan tradisi masyarakat Jawa yang berputar 35 hari sekali.

Biasanya bancaan weton dilakukan tiap lapan (35 hari) sampai bayi berumur satu tahun. Ada kalanya masyarakat hanya menyelenggarakan bancakan weton pada weton ganjil saja, yaitu selapan, tiga lapan, lima lapan dan seterusnya.

Dalam penyelenggaraan bancakan weton di Kampung Kauman, tidak perlu persiapan undangan khusus bagi yang akan mengikuti, cukup meminta seorang anak untuk memanggil temannya-temannya secara lisan. Karena sasaran dari bancakan weton adalah anakanak. Namun seiring dengan berjalannya waktu ternyata anak-anak seolah tidak tertarik dengan bancakan weton karena alasan menu yang tidak kekinian, sehingga yang mengerubuti nasi tumpeng pada bancakan weton didominasi oleh orang dewasa khususnya ibu-ibu.

Penyelenggaraan bancakan weton tidak perlu mempersiapkan tempat seperti orang punya hajat, tetapi cukup di teras rumah. Begitu pula tidak perlu menyediakan kursi untuk tempat duduk yang hadir. Nasi tumpeng beserta urap dan uba rampenya cukup ditata di tampah sedemikian rupa, kemudian diletakkan di atas meja kecil yang ditaruh di teras rumah. Orangorang yang mengikuti bancaan weton cukup berdiri mengelilingi tumpeng, sambil antri menerima nasi urap dalam pincuk.

Ada kekhasan dalam tata cara maupun menu dalam bancaan weton. Dimulai dengan pembacaan doa yang diamini oleh hadirin kemudian dilanjutkan pembagian nasi urap dan uba rampenya yang di tata pada pincuk (wadah nasi dari daun pisang). Setiap yang hadir boleh meminta lebih dari satu pincuk untuk anggota keluarga yang tidak hadir yang biasa disebut gandhulan. Jadi bagi yang hadir dalam bancaan weton bias nggandhulke (memintakan) bebera pa pincuk untuk anggota keluar ga yang lain. Menu makanan pa da bancaan weton sangat khas, yaitu berupa nasi, urap, telur rebus, bothok, pelas, ikan asin di sertai jajanan pasar dan buah.

Sayuran dalam urap pada bancaan weton juga memiliki makna masing-masing. Saya mencoba bertanya kepada Mbah Kamto, sesepuh di Kampung Kauman tentang makna dari sayuran yang diolah menjadi urap dan di sajikan dalam bancaan weton.

“Ya maknanya macam-macam. Misalnya kacang panjang yang tidak dipotong atau dibiarkan memanjang, mengandung harapan supaya panjang umur. Telur yang berjumlah pitu [tujuh] atau sewelas [sebelas] yang bermakna pitulungan dan kawelasan yang mengandung arti agar si bayi men dapat pertolongan dan kasih sayang dari Allah. Daun bayem (bayam) yang bermakna harapan agar ayem (tenteram) dalam kehidupan, dan sebagainya”.

Setelah mendengar penjelasan dari Mbah Kamto, saya menjadi sadar bahwa makanan pada bancaan weton yang selama ini sering saya makan tidak sekadar hidangan makanan biasa. Ada makna yang berupa harapan di dalamnya. Sangat baik jika bancaan weton dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Sayang dengan berbagai alasan tradisi bancaan weton ini sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat.

Dyah Saptorini, Guru SMP Negeri 1 Masaran, Sragen