Sri Handayani awalnya mengira warga bergama Kristen kurang religius karena hanya beribadah sekali sepekan.
Solopos.com, SOLO — Membaca merupakan hal paling digemari Sri Handayani, guru Bahasa Indonesia di SMKN 3 Sukoharjo. Ia suka membaca apa saja, mulai dari buku hingga surat kabar.
Tidak ada buku khusus atau novel tertentu yang jadi favoritnya. Jika tidak ada buku bacaan, surat kabar harian jadi pelarian wanita berkerudung untuk menyalurkan hobi dan memuaskan rasa ingin tahunya.
Koran Solopos menjadi salah satu surat kabar rutin yang ia baca di sekolah. Kebetulan, SMKN 3 Sukoharjo berlangganan koran yang mempunyai slogan Panduan Informasi Terpercaya ini. Ia sangat akrab dengan media massa terutama koran.
Meski menjadi konsumen setia produk-produk jurnalistik, Sri Handayani rupanya tak betul-betul memahami apa itu jurnalistik dan bagaimana jurnalistik bekerja. Ia tak tahu bagaimana cara menulis berita dan artikel di media massa. Hal yang lantas membuatnya tak percaya diri untuk menulis apalagi mengirimkannya untuk dimuat di media massa.
“Saya kurang percaya diri untuk menulis karena tidak paham jurnalistik,” ujarnya saat diwawancarai Solopos.com via Zoom, Kamis (27/1/2022).
Suatu saat, tepatnya di awal semester pertama 2021, ia diajak untuk ikut serta dalam program Program Internalisasi Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme yang digelar Solopos Institute. Sayangnya, karena sesuatu hal, Sri Handayani tak bisa ikut. Ia pun lantas tak masuk dalam empat guru yang mewakili SMKN 3 Sukoharjo untuk mengikuti program ini.
Namun, pada kesempatan berikutnya, dia bisa ikut dalam program ini. Bahkan ia ikut di dua kegiatan yang membawanya pada pengalaman baru. Pengalaman yang pada akhirnya mampu memupus rasa tak percaya diri Sri Handayani.
Sebagai informasi, Internalisasi Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme merupakan program Solopos Istitute yang bertujuan mendiseminasi toleransi keberagaman dengan pendekatan jurnalistik. Dalam jurnalistik dikenal adanya prinsip kejujuran (berita adalah fakta), tidak berprasangka (disiplin verifikasi), menjunjung tinggi kebenaran, dan memandang segala sesuatu secara komperehensif (cover all side).
Prinsip jurnalistik ini yang kemudian digunakan fasilitator untuk mengajak para peserta program berdialog dan berbagi pengalaman tentang keberagaman. Dari dialog dan berbagi pengalaman itu peserta bersepakat untuk merumuskan bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan.
Toleransi Keberagaman
Program ini didesain untuk menumbuhkan kesadaran peserta program akan pentingnya toleransi atas keberagaman, termasuk bagaimana memaknai perbedaan. Pemahaman bahwa toleransi keberagaman adalah salah satu pilar kedamaian penting dimiliki setiap manusia, terutama dari kalangan pendidik. Menjaga toleransi merupakan bagian dari upaya menjaga kemanusiaan.
Setelah muncul kesadaran dan kepedulian dalam diri peserta akan pentingnya toleransi keberagaman, mereka kemudian dikenalkan dengan keterampilan jurnalistik dasar sebagai sarana untuk mengampanyekan toleransi keberagaman dengan cakupan yang lebih luas.
Program ini terdiri atas sejumlah rangkaian kegiatan, mulai dari workshop hingga festival yang melibatkan ratusan guru dan siswa SMA/SMK di delapan sekolah di empat daerah Soloraya, yakni Solo, Sukoharjo, Karanganyar, dan Klaten.
Workshop yang digelar yakni Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme, Bercerita Tentang Keberagaman Berbasi Esai, Bercerita Tentang Keberagaman Berbasis Berita Kisah, dan Bercerita Tentang Keberagaman Berbasis Video.
Dua workshop yang diikuti Sri Handayani adalah Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme, Bercerita Tentang Keberagaman Berbasi Esai. Masing-masing workshop berdurasi dua hari. Di sini Sri Handayani mendapatkan banyak ilmu baru mulai dari bagaimana menghargai diri sendiri dan orang lain, setop prasangka, menganalisis persoalan melalui pohon masalah, memverifikasi informasi, hingga belajar tentang jurnalistik.
Workshop ini diakui Sri Handayani mengubah cara pandangnya terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Awalnya, hanya karena beribadah sepekan sekali ke gereja, ia sempat menilai orang Kristen itu tingkat religiositasnya kurang . Ia membandingkan dengan dirinya sendiri yang seorang muslim. Dalam sehari, minimal ia lima kali beribadah salat. Dari situ ia berasumsi bahwa muslim lebih taat ketimbang orang Nasrani.
Namun pandangannya itu berangsur-angsur berubah seusai mengikuti workshop yang pesertanya tak semuanya beragama Islam. “Saya akhirnya menyadari agama lain juga pasti mengajarkan hal yang baik kepada penganutnya, meski beda tata cara ibadahnya,” ujar Sri Handayani.
Hal lain yang berubah dalam dirinya adalah rasa kurang percaya diri Sri Handayani untuk menulis sedikit demi sedikit hilang. “Saya banyak memperoleh manfaat dan pengalaman dari kegiatan ini. Saya terkesan sekali setelah mengikuti kegiatan ini. Sebelum mengikuti workshop saya kurang percaya diri. Kurang berani menulis.”
Setiap peserta Workshop Bercerita Tentang Keberagaman Berbasis Esai memang diminta untuk membuat karya tulis. Temanya spesifik tentang keberagaman, sesuai tema besar program. Karya tulis ini penting karena menjadi salah satu tolok ukur keberhasil program.
Tulisan Perdana
Diawali dari sebuah “keterpaksaan”, Sri Handayani mulai membuat tulisan esai pertamanya. Judulnya “Melestarikan Nyadran dan Padusan”. Esai ini bercerita tentang budaya nyadran dan pdusan yang masih dilestarikan masyarakat di Desa Watubonang, Kecamatan Tawangsari, Sukoharjo, tempatnya tinggal.
Nyadran atau biasa disebut bersih desa adalah ritual tahunan yang biasanya melibatkan seluruh warga desa. Kegiatanya berupa bersih-bersih makam, mendoakan leluhur yang sudah lebih dulu meninggalkan mereka, dan diakhiri dengan makan bersama. Sementara padusan adalah kegiatan mandi di mata air atau kolam di desa setempat. Kegiatan ini bisa dilakukan secara bersama-sama maupun individu.
Dua tradisi ini biasanya digelar sepekan sebelum masuk Bulan Puasa atau Ramadan. Ini adalah simbolisasi akan kewajiban warga desa, yang umumnya mayoritas muslim, untuk membersihkan diri sebelum memasuki Bulan Suci Ramadan.
Sri Handayani tak menyangka tulisan esai perdananya ini bisa lolos dimuat Koran Solopos dan Solopos.com. “Ini jadi pengalaman pertama saya menulis esai dan diterbitkan di Solopos,” ungkap guru yang pernah menjadi pembimbing di salah satu bimbingan belajar di Sukoharjo ini.
Baca Juga:Bermain Saya Ternyata Kurang Jauh
Berawal dari keterpaksaan itu, Sri Handayani kini malah tergelitik untuk kembali menulis. Menurutnya menulis itu menyenangkan. “Ini adalah kegiatan menuangkan ide, bisa mencurahkan perasaan, dan menyalurkan daya imajinasi,” urainya.
Program Internalisasi Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme ini juga membidani lahirnya kegiatan ekstrakurikuler (ekskul) jurnalistik di SMKN 3 Sukoharjo. Kini sudah terbentuk pengurus ekskul jurnalistik yang jumlahnya sekitar 20 orang. Sri Handayani dipercaya menjadi salah satu pembimbing ekskul ini bersam seorang guru lainnya, Tri Haryanti.
“Dulu pernah terbayang untuk membimbing anak-anak untuk menulis, membuat mading [majalah dinding]. Namun terkendala kurangnya wawasan saya tentang jurnalistik,” ungkap Sri Handayani yang kini lebih siap dengan bekal ilmu jurnalistik yang sudah ia miliki.
Ekskul jurnalistik SMKN 3 Sukoharjo ini pun telah berhasil menerbitkan majalah edisi perdana. Majalahnya diberi nama Smaktanews.
Sri Handayani bertekad untuk mengembangkan kegiatan ekskul jurnalistik ini agar lebih banyak peminatnya dan bisa melahirkan karya-karya yang lebih baik.
Sri Handayani, guru Bahasa Indonesia di SMKN 3 Sukoharjo.
Sumber:https://www.solopos.com/sempat-anggap-nasrani-itu-kurang-religius-tapi-sekarang-1248842?utm_source=arsip_desktop