Sebelum mengikuti Workshop Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme, Faizatul Irbah mengaku takut bergaul dengan siswa nonmuslim karena khawatir menyinggung.
Solopos.com, SOLO — Ini adalah cerita tentang Faizatul Irbah, siswa Kelas XI SMAN 1 Sukoharjo yang pernah mengikuti Workshop Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme yang digelar Solopos Institute.
Perempuan berkerudung yang akrab disapa Irbah ini terbilang anak yang cukup religius. Terlahir dari keluarga yang religius membentuk karakter Irbah yang juga religius. Saat umurnya sekitar tujuh tahun, orang tuanya menyekolahkan Irbah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Sukoharjo dengan tujuan agar anak semata wayang mereka mendapat ilmu agama yang cukup.
Mengenyam pendidikan di sekolah berbasis agama telah menumbuhkan kesadaran Irbah akan pentingnya ilmu agama di dalam kehidupan sehari-harinya. Oleh karenanya, begitu ia melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Sukoharjo, Irbah aktif terjun di organisasi ekstrakurikuler Kerohanian Islam (Rohis).
Remaja kelahiran 22 Februari 2005 ini menyadari porsi pelajaran agama yang diterima di sekolahnya yang baru ini tak sebanyak di sekolahnya yang dulu. Irbah merasa butuh tambahan ilmu agama di sekolah. Ia pun lantas bergabung di Rohis.
Hal yang sama ia lakukan saat melanjutkan studi ke SMAN 1 Sukoharjo. Irbah juga aktif di organisasi Rohis SMAN 1 Sukoharjo. Bahkan perempuan yang kini duduk di Kelas XI Jurusan Bahasa dan Budaya ini dipercaya menjadi Ketua Umum Rohis putri. Di Rohis SMAN 1 Sukoharjo, jabatan ketua umum dipegang dua orang, putra dan putri.
Di organisasi ini ia bertanggung jawab melaksanakan sejumlah program kerja. Seperti forum sharing pekanan, tadarus, pengajian Maulid Nabi Muhammad SAW, hingga halalbihalal.
Menjadi aktivis organisasi keagamaan di sekolah membuat Irbah lebih banyak bergaul dengan rekan-rekannya sesama muslim. Anak tunggal ini jarang berinteraksi dengan siswa nonmuslim. Meski tidak anti, Irbah mengaku cukup sulit bergaul dengan teman dari kalangan nonmuslim. Ada rasa takut untuk memulai percakapan.
“Saya jarang punya teman nonmuslim, bukan karena tak toleransi, cuma enggak terbiasa. Takut menyinggung,” ujarnya kepada Solopos.com, Minggu (23/1/2022).
Irbah sebenarnya punya teman yang beragama Kristen. Bahkan, mereka sudah berteman sejak SMP karena satu sekolah. Namun pertemanan mereka hanya sebatas saling kenal tanpa ada kedekatan yang diikat dengan obrolan-obrolan intens. Kalaupun ada obrolan, itu pun cuma sekilas.
Jalin Persahabatan
Di SMAN 1 Sukoharjo, mayoritas siswanya beragama Islam. Hanya ada beberapa siswa yang beragama Kristen dan Katolik. Mereka tergabung dalam Kerohanian Kristen (Rohkris). Adanya perbedaan keyakinan dan kegiatan ini membuat Irbah semakin jarang berinteraksi dengan temannya yang nonmuslim.
Setelah mengikuti Workshop Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme, penilaian Irbah tentang teman dari kalangan nonmuslim, terutama Kristen, mulai berubah. Ini karena dalam workshop tersebut ada pula peserta dari siswa yang beragama Kristen.
Para peserta diwajibkan untuk aktif dan saling bekerja sama menyelesaikan tugas yang diberikan fasilitator workshop. Percakapan intens antarsiswa beda agama yang dulunya jarang atau bahkan tak pernah terjadi, berlangsung cair dalam workshop ini. Dari situ mereka memahami bahwa ada keinginan yang sama untuk menjalin persahabatan meski berbeda agama. Perbedaan agama seharusnya tak mengikis kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu-sama lain.
“(Sekarang) enggak masalah kalau mau berteman dekat [dengan teman nonmuslim]. Cuma memang masih harus beradaptasi,” kata Irbah yang siap untuk lebih terbuka pada perbedaan.
Workshop Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme juga membuka mata Irbah bahwa rekan-rekannya ternyata memiliki ide dan gagasan-gagasan yang bagus. Gagasan-gagasan itu selama ini tak menemukan ruang dan waktu untuk disalurkan. Selain itu, mereka takut mengeluarkan gagasan karena berbeda.
Irbah merasa teman-temannya perlu mendapat ruang untuk mengeluarkan ide dan gagasan mereka. Toleransi keberagaman juga menjadi sesuatu yang ingin ia internalisasi dalam kebijakannya memimpin sejumlah organisasi.
Buka Ruang Adu Gagasan
Selain Rohis, Irbah juga memegang posisi penting di ekstrakurikuler (ekskul) Jurnalistik, yakni sebagai pemimpin umum. Ekskul ini yang menerbitkan Majalah Angkasa (Ajang Kreasi Anak Smansa ). Irbah juga tercatat sebagai anggota Majelis Perwakilan Kelas (MPK) yang bertugas mengawasi OSIS.
Di organisasi yang ia pimpin, Irbah ingin memberikan ruang yang lebih lebar kepada teman-temannya untuk bisa mengeluarkan gagasan tanpa mengkhawatirkan adanya perbedaan.
Memimpin sejumlah organisasi di sekolah menjadikan Irbah menonjol di antara teman-temannya. Meski demikian, Irbah mengaku pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ini menyangkut jurusan yang ia pilih. “Siswa yang mengambil Jurusan Bahasa dan Budaya dianggap di bawah siswa lain yang mengambil jurusan sains [IPA],” ungkap Irbah.
Perlakukan diskriminatif itu ia respons dengan karya. Irbah yang hobi menulis, terutama puisi, sering mengirmkan karyanya di beberapa lomba. Ia pernah memenangi lomba karya sastra yang digelar salah satu akun media sosial Instagram. Ia menyadari, semua orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun tak seharusnya kekurangan itu dijadikan alasan untuk berlaku diskriminatif.
Hal lain yang didapat Irbah setelah mengikuti Workshop Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme adalah bagaimana cara menyampaikan pendapat tanpa menyinggung orang lain.
“Jadi lebih tahu kalau pemikiran orang itu beda-beda. Kadang candaan-candaan yang menyinggung soal perbedaan bisa berdampak besar. Harus bisa menjaga ucapan,” kata dia yang kini mengaku bisa berpikir lebih kritis.
Penulis Faizatul Irbah, Siswa SMAN 1 Sukoharjo.
Sumber:https://www.solopos.com/awalnya-takut-bergaul-dengan-nonmuslim-kini-1248822?utm_source=terkini_desktop