Relasi yang baik dengan manusia lain akan menghasilkan kehidupan yang baik pula.
Solopos.com, SOLO—Pagar merupakan bagian sangat penting dalam sebuah bangunan rumah. Di samping fungsinya sebagai pembatas, keamanan penghuni maupun harta benda yang ada di dalamnya lebih meningkat dengan adanya pagar.
Hewan atau datangnya orang yang tidak diinginkan juga bisa dicegah. Dalam proses pembuatannya, pagar memerlukan bahan-bahan atau material dengan kualitas yang baik supaya tahan lebih lama, tidak mudah dihancurkan, tahan terhadap guncangan maupun panas matahari, hingga hujan.
Pagar itu dicor memakai adonan semen, pasir, dan batu. Di dalamnya masih diberi rancangan besi atau baja agar lebih kuat.
Pagar tembok ini tentunya sangat kokoh dan kuat. Binatang atau orang-orang jahat akan mengalami kesulitan masuk rumah. Pagar yang rapuh tidak akan mempunyai fungsi yang maksimal. Binatang dan orang-orang yang tidak dikenal dengan mudah bisa masuk dan mengambil apa pun yang mereka sukai tanpa sepengetahuan penghuni rumah.
Namun, bagaimana kalau pagar rumah itu berupa mangkuk yang bahan materialnya hanya terbuat dari plastik, kaca, atau keramik yang mudah pecah, bukan dari material yang kuat?
Mangkuk adalah barang yang relatif kecil, mudah pecah, dan mudah rusak. Fungsinya untuk menaruh makanan atau sayuran. Tetapi, pagar mangkuk yang merupakan metafora dari sikap selalu peduli dan saling berbagi dengan masyarakat mempunyai daya tahan kuat, kokoh, lebih kuat, dan lebih tebal serta tinggi dibandingkan pagar tembok.
Nenek moyang kita zaman dulu memang hebat. Indonesia terkenal dengan adat ketimurannya yang sangat santun.
Ucapan mereka mengandung makna yang mendalam. Banyak yang tersirat didalamnya dan penuh filosofi. Karena kesantunannya, nasihat banyak yang berupa petuah dalam bentuk kiasan dan pepatah. Dengan begitu orang lain tidak mudah tersinggung dan marah.
Menumpang Minum
Menjaga perasaan orang lain lebih diutamakan. Sewaktu saya kecil, ada beberapa kalimat yang masih terekam di memori. Salah satunya ketika kakek berkata “Le wong urip kuwi mung mampir ngombe (nak, orang hidup itu hanya mampir untuk menumpang minum).”
Ucapan ini benar apabila kita pahami benar. Bahwa orang hidup di dunia hanya sebentar, hanya berapa puluh tahun, bahkan yang hidup sampai 100 tahun sudah jarang. Kehidupan yang sangat singkat diibaratkan dengan mampir ngombe.
Kalimat lain yang saya ingat mengandung makna mendalam adalah, “Le pager mangkok kuwi luwih duwur tinimbangane pager tembok (Nak, pagar mangkuk itu lebih tinggi daripada pagar tembok).” Sekali lagi dia memberikan petuah dalam bentuk metafora.
Pagar mangkuk mengandung filosofi yang sangat baik, yaitu memberi pelajaran dan mengajari orang-orang untuk berbuat baik kepada sesama. Ungkapan itu tidak bisa ditelan ditangkap mentah-mentah, apa adanya. Kalau kita terima apa adanya, hasilnya akan berbeda.
Coba kalau kita terima apa adanya, kita harus memagari rumah, pekarangan kita dengan mangkuk.
Nenek moyang mengajari kita untuk selalu bersedekah, saling membantu, dan saling mengasihi. Mereka mengajari kita untuk selalu menyisihkan sedikit harta kekayaan untuk orang lain yang membutuhkan, untuk orang-orang dekat di sekeliling kita.
Di kala kita mempunyai rezeki yang lebih, sisihkan sedikit uang tersebut untuk orang-orang di sekitar kita atau orang yang membutuhkan. Memberi santunan kepada orang lain tidak berarti akan mengurangi harta kita, tetapi akan memberi keberkahan terhadap harta yang kita miliki, keberkahan pemiliknya.
Bukan hanya uang, kita juga bisa berbagi bahan makanan atau hasil kebun, seperti mangga, pisang, jambu, dan lainnya yang tumbuh di pekarangan. Saat pohon di pekarangan kita berbuah, biarkan orang-orang di sekitar kita ikut menikmati dan ikut merasakan.
Sedekah
Bersedekah tidak perlu menunggu kapan kita kaya karena ukuran kekayaan seseorang tidak bisa diukur. Yang bisa mengukur adalah diri kita sendiri. Tengok dan lihat ke bawah karena di bawah sana masih ada orang–orang yang lebih susah dibandingkan kita.
Bersedekah tidak usah menengok atau melihat ke atas, melihat orang yang lebih kaya dari kita. Sekecil apa pun yang kita berikan kepada orang lain akan menjadi keberkahan bagi kita, akan menjadi benteng tembok yang kuat bagi kita.
Hidup tidak selamanya akan mulus-baik. Ada susah dan ada bahagia. Gangguan dan godaan selalu ada. Siapa yang menolong kita kali pertama sewaktu kita sakit, sewaktu kita mengalami kesusahan, sewaktu mendapatkan musibah, bencana atau mendapatkan gangguan dari orang jahat” Mungkinkah anak atau saudara kita yang jauh dengan mudah datang dan menolong saat itu juga?
Sewaktu ada pencuri atau perampok yang datang, siapa yang lari mengejar lebih dulu? Orang yang kaya dan pelit sewaktu berteriak minta tolong, tetangga dan orang-orang disekeliling tentu tidak akan peduli.
Namun, ketika kita berbagi, bersedekah, memberi, dan menyisihkan sedikit harta maupun makanan kepada orang–orang di sekitar kita, mereka akan lebih peduli terhadap kita. Mereka merasa merupakan bagian dari kita, ikut menjaga melebihi kuat dan tingginya pagar tembok yang kita bangun.
Ketika ada orang yang minta tolong, orang–orang di sekitar kita tentu akan langsung lari memberi bantuan, menangkap pencuri, atau perampok itu. Bahkan sewaktu rumah itu kosong ditinggal pergi penghuninya, orang- orang di sekitar kita akan ikut menjaganya.
Ketika ada orang asing, orang yang tidak dikenal memasuki pekarangan rumah, tetangga kita akan menanyakan siapa dia dan punya keperluan apa. Pepatah pagar mangkuk lebih kokoh dari pagar tembok ini mengajari kita untuk bersedekah dan hidup bertoleransi.
Mari kita hidup dengan damai dan lebih peduli terhadap orang di sekeliling kita. Bersedekah bukan berarti harus memberi banyak, tetapi bisa dimulai dengan hal–hal yang kecil dan sedikit.
Sebagai contoh, saat kita memasak, beri orang sekeliling kita meski sedikit. Mereka akan lebih senang menerimanya. Mereka merasa bagian dari kita. Tidak usah menunggu besok saat kaya.
Hasrat
Sifat manusia berdasarkan kodratnya selalu tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Punya sepeda pasti menginginkan yang lain, yang lebih baik, misalnya sepeda motor, mobil, sampai pesawat pesawat. Niat atau hasrat baru terhenti saat manusia mati.
Jadi mari kita syukuri rezeki kita, nikmat kita. Sisihkan rezeki itu dengan bersedekah, ikut memikirkan orang-orang di sekeliling kita.
Kita pupuk rasa toleransi, rasa peduli terhadap sesama. Jangan berprasangka, jangan berkeyakinan bahwa hartaku adalah hartaku karena aku yang bersusah payah mencari ke mana-mana. Hilangkan perasaan itu.
Ingat hari esok, kita tidak akan hidup kekal dan tidak bisa abadi. Harta kita tidak bisa menemani kita selama-lamanya. Kalau kita tidak bisa menggunakan harta itu untuk hal-hal yang lebih baik, harta tersebut justru bakal menyengsarakan kita.
Hidup hanya sebentar, orang meninggal tidak akan membawa harta. Sebenarnya harta yang kita miliki adalah titipan yang sewaktu-waktu akan kembali. Harta yang tidak baik bisa jadi bahan rebutan anak-anak atau cucu. Sebaliknya, harta yang kita berikan buat sedekah akan selalu menjaga kita sewaktu hidup hingga meninggal nanti.
Penulis Suratmin guru di SMK Negeri 3 Sukoharjo
Sumber:https://www.solopos.com/pagar-mangkuk-atau-pagar-tembok-1248768?utm_source=arsip_desktop