Dalam keluarga besar saya terdapat beberapa penganut agama yang berbeda. Keluarga saya adalah keluarga gado-gado. Sebuah metafora untuk makanan yang lezat.
Solopos.com, SOLO—Indonesia yang bineka sungguh tercermin dalam keluarga besar kami. Keluarga Siswamartanan, keluarga besar saya dari pihak ibu.
Keluarga ini terdiri atas 10 anak, 28 cucu, 44 cicit, dan masih akan bertambah jumlahnya. Mbah Siswa memiliki 5 putra dan 5 putri. Ibu saya adalah putri simbah nomer 9.
Simbah kakung yang asli Jawa Tengah memberikan nama putra-putrinya dengan istilah angka dalam bahasa Jawa. Dimulai dari Purwa yang berarti pembuka, Dwi untuk anak kedua, kemudian Tri, Pat, Panca, Sad, Sapti, Hasta, Nawa, serta Dasa untuk putra-putrinya nomer 3 sampai 10.
Nama-nama yang jarang kita temui sekarang. Kesepuluh putra-putrinya berjodoh dengan orang dari pulau Jawa juga. Seorang dari Jakarta dan Surabaya, yang paling jauh. Selebihnya dari sesama Klaten dan Solo.
Pada generasi cucu, ada menantu dari Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Aceh, Jawa Barat, dan Riau. Menambah keberagaman di keluarga kami.
Simbah kakung yang seorang guru membesarkan putra-putrinya dengan kewajiban bersekolah. Hingga kesepuluh putra-putrinya kemudian menjadi sarjana dan bekerja di instansi pemerintah.
Dari sekian banyak anggota keluarga itu pastinya memunculkan keberagaman. Banyak muncul perbedaan pendapat karena keberagaman yang mengakibatkan gesekan kecil di antara kami.
Contohnya perbedaan selera baju, badan terlalu gemuk atau kurus, kuliah di mana, dan lain-lain. Namun, perbedaan yang paling menonjol adalah perbedaan agama.
Beberapa keluarga bude beragama Kristen, lainnya beragama Islam. Perbedaan itu saya rasakan sejak kecil karena selama saya bersekolah, tidak ada teman saya yang memiliki keluarga besar dengan berbeda agama.
Kalimat “Kok bisa begitu?” sering saya terima dari teman-teman ketika saya bercerita mengenai kondisi keluarga saya kala itu. Sejatinya, perbedaan agama ini tidak terlalu berarti bagi kami. Toleransi dan kebersamaan selalu diajarkan di dalam keluarga besar kami.
Seringkali ibu saya bercerita mengenai bagaimana dulu simbah mengajarkan gotong royong dan berbagi. Saat ibu masih kecil, pekerjaan rumah dikerjakan bersama-sama dengan pembagian yang adil.
Seringkali simbah meminta anaknya bekerja dulu sebelum makan enak. Kala itu, cerita ibu, ibu dan kedua kakak di atasnya bertugas mencari buah randu yang jatuh di sepanjang jalan desa untuk dijual ke pembuat kasur. Hasilnya dibelikan telur satu butir.
Telur itu akan direbus dan dipotong menjadi 8 bagian sama besar. Mereka makan bersama dengan lauk sayur dan potongan telur tersebut. Dua anak tertua mengalah dengan hanya makan berteman sayur. Tugas rumah yang lebih berat dikerjakan anak yang lebih besar. Cerita yang selalu membuat saya terharu.
Kebiasaan itu pun diajarkan ibu kepada saya dan adik. Jadi, kebiasan itu pula yang selalu kami bawa saat kami berkumpul.
Tidak peduli kaya atau tidak, kami akan bergotong-royong menyiapkan tempat berkumpul dan segala keperluannya. Tidak ada yang memerhatikan ijazah dan jabatan, kami saling bertukar pikiran demi keberhasilan acara kumpul keluarga.
Saat kami harus berselisih pendapat, itu bukan mengenai cara kami beragama, tapi mengenai di rumah mana kami harus berkumpul saat libur Lebaran dan libur Natal. Dulu, saat simbah putri masih ada, rumah simbah di Klaten adalah tempat berkumpul minimal dua kali dalam setahun.
Setelah simbah putri meninggal pada 1999 lalu, rumah anak tertua menjadi tempat berkumpul. Sering kami berkumpul di Jakarta, Bogor, atau Jogja saat Lebaran. Atau juga di Klaten, rumah salah satu bude saat Natal tiba.
Saat pandemi, selisih pendapat juga ada melalui grup Whatssap. Perselisihan lagi-lagi berkaitan dengan tempat berkumpul saat Lebaran dan Natal yang kemudian batal karena PPKM. Sudah dua tahun kami tidak berkumpul!
Ada kisah yang membekas di benak saya hingga saat ini. Waktunya saat Natal, tepatnya ketika subuh. Kami bangun, yang beragama Islam mengerjakan Salat Subuh lalu ikut sibuk menyiapkan masakan yang akan dibawa bude sekeluarga ke gereja. Bersama tetangga yang diminta membantu , kami bahu-membahu memasak, menghidangkan dan menghias makanan.
Ada seseorang yang berkata, “awake dhewe mung melu nyiapke panganan, ora melu ngibadahe ta.” [kita hanya ikut menyiapkan makanan, tidak ikut ibadahnya] Saya lupa siapa yang mengucapkan kalimat tersebut meski masih terus saya ingat sampai sekarang. Kami memang keluarga besar sehingga kami harus saling bantu, saling gotong-royong dengan tidak mencampuri urusan ibadah masing-masing.
Pertanyaan
Anak pertama saya pernah membuat saya berpikir perihal menyampaikan perbedaan agama ini. Bersekolah di TKIT dan di SD yang mayoritas muslim membuat dia bertanya-tanya mengenai kenapa dia harus berteman dengan orang yang berbeda agama.
Menjawab pertanyaan tersebut, tentu saya harus berhati-hati. Pemahaman yang saya berikan akan dia bawa sampai nanti dia dewasa. Saat itu, seingat saya, saya menjelaskan mengenai nilai ketuhanan dalam Pancasila, bagaimana kita mengimani Tuhan Yang Maha Esa dengan cara ibadah yang berbeda. Sedikit saya menyesali mengapa pelajaran PMP dan P4 ditiadakan. Apakah anak saya mengerti? Tentu saja tidak langsung mengerti.
Saya lalu memberikan contoh bagaimana keluarga besar neneknya berinteraksi selama ini. Saya tunjukkan foto keluarga besar, saat ibunya ini masih balita. Di dalam foto tidak terlihat mana yang Islam mana yang Kristen. Semua sama, manusia dengan rambut, tangan, dan kaki. Semua rukun dengan senyum yang sama.
Tidak perlu kita permasalahkan agama teman saat kita benar-benar tulus berteman. Selain itu, saya juga menunjukkan berbagai teman saya di dunia maya.
Ada yang penganut Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, ada pula yang agnostik. Kami bisa berinteraksi dengan baik, tertawa bersama, dan membahas suatu masalah tanpa perselisihan yang membawa agama.
Saya ceritakan pula pengalaman saat saya masih SD. Setelah liburan akhir tahun, saya membuat karangan dengan judul Berlibur ke Rumah Nenek. Dalam karangan tersebut, saya menceritakan mengenai kegiatan kumpul keluarga beserta keberagamannya.
Guru kelas saya menyebut bahwa keluarga besar saya adalah keluarga gado-gado sambil mengacungkan dua jempolnya. Saya bangga mendapat sebutan itu. Gado-gado itu enak, berbagai sayuran yang berbeda bisa bercampur dengan rasa yang harmonis.
Aprilia Endraswari
Penulis adalah guru di di SMKN 3 Sukoharjo
Sumber:https://www.solopos.com/keluarga-gado-gado-1252542?utm_source=arsip_desktop