Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the learnpress domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the learnpress domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the thim-core domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the woocommerce domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/institute/wp/wp-includes/functions.php on line 6114
Mengumpulkan yang Berserak, Kisah Keberagaman dan Lingkungan di Banyuwangi – Solopos Institute

Blog

Mengumpulkan yang Berserak, Kisah Keberagaman dan Lingkungan di Banyuwangi

Kisah tentang hubungan antarumat beragama dan kepedulian terhadap lingkungan di Banyuwangi memang tidak melulu indah. Ada juga riak-riak yang mengganggu. Misalnya upaya warga Muhammadiyah membangun masjid terhalang oleh warga lainnya yang berbeda pemahaman.

SOLOPOS.COM – Peserta workshop menulis berita kisah keberagaman dan lingkungan berdiskusi di Kantor PD Muhammadiyah Banyuwangi, Selasa (27/9/2022). (istumewa)

Gadis itu baru akan berbicara. Mik warna hitam sudah di  tangan. Baru mengawali dengan kata “saya”, azan Zuhur terdengar. Tentu saja keras karena Masjid Besar K.H. Ahmad Dahlan ada di bawah ruang pertemuan. Umumnya azan memakai speaker yang bisa didengar dari luar ruangan masjid. Gadis itu tengah mengikuti workshop yang digelar di lantai III Kantor Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa-Rabu (27-28/9/2022).

Lantai I dimanfaatkan untuk masjid. Lantai II ruangan rapat. Di lantai III itu sehari-hari PD Muhammadiyah berkantor. Di ruangan itu, terdapat meja rapat yang ditata dengan format kotak berkeliling. Kursinya warna hitam. Bukan kursi pipa biasa, tetapi kursi dengan sandaran yang kemiringannya bisa diatur.

Saat azan, kami diam tak mengobrol. Ada yang makan camilan dalam kardus kecil. Tak sedikit yang membuka-buka ponsel. Begitu azan selesai, gadis itu mulai berbicara. Dia bercerita tentang pengalamannya dalam hubungan antariman.

Nama gadis dengan rambut dikucir itu Novietta Santi Qurrot’aini. Mendengar nama belakangnya yang berasal dari bahasa Arab yang berarti “penyejuk mata”, orang sering salah sangka dia muslimah. Tetapi melihat jas yang dia kenakan, perkiraan itu jelas salah. Santi mengenakan jaket organisasi warna kuning muda. Di dada kiri jas itu terdapat badge bertuliskan “Pemuda Katolik”.

Santi memang dari Katolik. Namanya ada unsur bahasa Arab “Qurrot’aini”. Ayahnya muslim, mamanya pemeluk Katolik. Keluarga campur. Santi ikut mamanya. Kini dia aktif sebagai pengurus Pemuda Katolik Banyuwangi.

Dia terbiasa dengan perbedaan. Keluarganya beragam, tetapi tak ada masalah. Saling menghormati sudah menjadi bagian dari keluarganya. Bahkan, saat ikut acara di Gedung PDM Banyuwangi, Santi menginap di rumah saudaranya yang muslim. Rumah saudaranya dekat dengan lokasi acara. Sedangkan rumah orang tuanya ada di pinggiran Kota Banyuwangi.

Workshop Program Eco Bhinneka Muhammadiyah yang dihelat PP Nasyiatul Aisyiyah menggandeng Solopos Institute itu bertajuk menulis berita kisah dengan topik lingkungan dan kebinekaan.

Karena itu, peserta workshop berasal dari berbagai agama. Yang Katolik selain Santi, ada Magdalena Intan Revarda. Kemudian Pendeta Herman Sjahthi dari Kristen, Eka Wahyu W. dari Buddha, Mahatma Adi dan Suminto dari Hindu, Tjahjadi Sugianto dan Iwan dari Konghucu, dan sejumlah peserta dari Islam.

Di Banyuwangi, kebinekaan termasuk dalam hal agama adalah hal lumrah. Bukan sesuatu yang aneh. Anggota keluarga berbeda keyakinan sesuatu yang biasa. Mereka saling menghargai.

Seperti cerita yang disampaikan Santi. Silaturahmi dan persaudaraan tetap terjalin dengan baik. Saat Lebaran, yang Katolik ikut makan opor ayam. Saat Natal, keluarga yang muslim juga ikut makan-makan. Tak ada masalah.

Cerita menarik lainnya datang dari Zahrotul Janah, peserta workshop dari PD Nasyiatul Aisyiyah Banyuwangi. Sehari-hari dia mengajar Ilmu Komputer di SMK Muhammadiyah 8 Siliragung, Banyuwangi. Sekolahnya sekitar 1,5 jam berkendaraan bermotor dari pusat Kabupaten Banyuwangi.

SMK Muhammadiyah 8 Siliragung memiliki seribuan siswa. Di sekolah itu, pemeluk Hindu 21 siswa, Buddha 2, Kristen 6, dan Katolik 2 orang.

“Sekolah kami menyediakan guru agama sesuai keyakinan siswa,” tutur Zahro, demikian dia biasa disapa.

Ada waktu khusus bagi siswa nonmuslim untuk belajar agama. Pemuka agama datang ke sekolah  itu untuk mendampingi siswa bukan muslim. Guru Kristen-Katolik datang pada Sabtu, pemuka agama Hindu dan Buddha setiap Jumat.

Nilai pelajaran agama juga diberikan oleh pemuka agama masing-masing. Sedangkan yang muslim mendapat pelajaran Agama Islam secara reguler.

Tak hanya siswanya yang beragam. Sekolah Muhammadiyah itu memiliki guru beragama Hindu. “Namanya Pak Yatimin. Guru Seni Budaya. Selain mengajar Seni Budaya, Pak Yatimin juga mendampingi ekstrakurikuler Gamelan,” tutur Zahro.

Cerita-cerita Santi dan Zahro dalam workshop itu mengambarkan keindahan Banyuwangi. Tak hanya terkenal karena wisata Taman Nasional Alas Purwo, Baluran, dan Kawah Ijen, tetapi juga keberagamannya.

Saat kami diskusi, peserta lain, Herman mengacungkan jari. Herman adalah pendeta di Gereja Jemaat Kristen Injili (JKI) Banyuwangi. Dia bercerita pengalamannya ketika berinteraksi dengan muslim dan lainnya. Dia tinggal di Perumahan Griya Permata, Pengantigan, Banyuwangi.  Warganya majemuk. Saat Lebaran, Herman biasa datang bersilaturahmi ke rumah-rumah warga yang merayakan. Saat Natal, tetangga muslim juga memberi selamat kepada Herman. Bahkan, warga memutuskan waktu kerja bakti di kompleks perumahan bukan setiap Minggu, tetapi Sabtu, agar tidak ada yang absen.

“Kalau Minggu, nanti Pak Herman ndak bisa ikut kerja bakti. Kan ke gereja,” ujar Herman menirukan alasan warga.

Ternyata Herman masih memiliki stok cerita soal keberagaman di Banyuwangi. Herman mengambil napas sejenak. Badannya gempal, namun rutin naik Gunung Ijen untuk melihat Kawah Ijen dengan ketinggian 2.386 mdpl. Dia mengaku tak bosan melihat blue fire di Kawah Ijen. Blue fire adalah api biru yang di dunia ini hanya ada dua, satunya di Kawah Ijen.

Kali ini dia bercerita tentang anak gadisnya. Namanya Mawar Saron. Kuliahnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Ketika Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi  Nadiem Makarim menggulirkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Mawar ikut program Kampus Mengajar. Dia ditempatkan di SD Muhammadiyah di Tegaldlimo, Banyuwangi.

Kepala SD Muhammadiyah, kata Herman, tahu Mawar anaknya pendeta, tetapi tak ada masalah. Dia disambut baik. Mengajar anak-anak di sana. Kini Mawar sudah menyelesaikan program itu, meninggalkan cerita soal hubungan indah antarumat beragama. “Anak saya bercerita kepala sekolahnya baik banget kepada dia,” ujar Herman.

Cerita-cerita baik tentang hubungan lintasiman itu banyak. Berserak di mana-mana. Alangkah lebih baik yang terpisah itu didokumentasikan dan dikumpulkan. Wartawan Solopos yang menjadi fasilitator workshop, Ayu Prawitasari, mengatakan cerita baik itu eman-eman jika dinikmati sendiri. Orang lain perlu tahu ada yang indah di lingkungan kita. Agar cerita itu awet, bisa dikenang, dan diceritakan kembali kepada orang lain, maka perlu ditulis dan dinarasikan. “Ditulis dalam bentuk feature atau berita kisah,” ujar Ayu.

Workshop itu memang bertujuan merekam kisah baik yang dilakukan oleh komunitas. Ada dua topik yang diangkat dalam workshop itu, yakni menulis kisah keberagaman dan lingkungan hidup. Makanya, nama program itu adalah Eco Bhinneka, perkawinan antara isu lingkungan dan kebinekaan.

Kisah tentang hubungan antarumat beragama dan kepedulian terhadap lingkungan di Banyuwangi memang tidak melulu indah. Ada juga riak-riak yang mengganggu. Misalnya upaya warga Muhammadiyah membangun masjid terhalang oleh warga lainnya yang berbeda pemahaman.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua PD Muhammadiyah Banyuwangi Sunarto memberi pesan dua hal. “Ada dua kata kunci. Saling menghargai karena beda itu sunatullah [hukum alam]. Kemudian jangan mengecilkan yang kecil apalagi meniadakan,” ujar Sunarto saat memberi sambutan di awal workshop.

Saat mengobrol dengan saya soal hambatan pemeluk agama mendirikan tempat ibadah, Pendeta Herman Sjahthi mengatakan,” Lha wong mau mendekat kepada Tuhannya kok ndak boleh. Mumpung masih hidup, mendekatlah kepada Tuhan.”

Saat sudah di Solo, saya sempat menghubungi kembali Herman via chat WhatsApp, Selasa (11/10/2022), tentang hubungan lintas iman. “Sampai hari ini saya meyakini Tuhan menciptakan kita dengan berbeda-beda sosial, budaya, bahkan agama, untuk satu tujuan bersujud kepada-Nya dengan cara yang berbeda Mas,” tulis Herman kepada saya.

Penulis: Syifaul Arifin