Selain kerja sama, gobak sodor mengajarkan pada anak bahwa kemenangan dan kekalahan selalu berganti-ganti.
Di sebuah desa di pinggiran Kota Sukoharjo, contohnya. Setiap sore, saya melihat anak-anak seusia SD berkumpul di salah satu gang di desa itu. Mereka asyik bermain gobak sodor.
Anak-anak itu terlihat tanpa beban, polos, dan lugu. Dari kejauhan, sayup-sayup saya dengar suara tertawa riang dan puas mereka. Saya senang melihatnya karena sejenak mereka melupakan gawai yang dampaknya sangat buruk apabila digunakan terus-menerus.
Kasus kecanduan game online kini terus terjadi, bahkan jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Bermain gobak sodor menjadi pilihan yang tepat untuk anak-anak itu mengisi waktu sekaligus belajar mengenai keberagaman.
Anak-anak di ujung gang tersebut terdiri atas beberapa laki-laki dan perempuan. Mereka sangat kompak dalam bermain gobak sodor. Permainan gobak sodor ini dilakukan dua tim atau kelompok yang terdiri atas 3 hingga 5 anak.
Anak-anak itu kemudian membentuk lapangan berpetak dengan kapur menggunakan tulis. Apabila tidak ada kapur, mereka memanfaatkan pecahan genting untuk menggambar garis.
Kearifan Lokal
Anggota kelompok ada yang menjadi lawan dan ada yang menjadi penjaga. Biasanya pengundian untuk menentukan kelompok lawan atau penjaga dilakukan dengan cara pingsut. Pingsut ini adalah metode untuk menentukan pihak yang kalah atau menang menggunakan jari tangan. Beberapa jari nilainya dianggap lebih tinggi dibandingkan jari yang lain.
Bagian penjaga bertugas dengan sekuat tenaga supaya lawan tidak bisa keluar dari garis petak. Apabila ada lawan yang kena penjaga, maka dua kelompok itu bergantian posisi.
Cara bermain gobak sodor ini sederhana. Kelompok lawan harus menuju garis paling belakang dan tidak boleh kena penjaga. Lawan harus kembali lagi melewati penjagaan hingga sampai baris awal.
Saat melihat anak–anak tersebut bermain gobak sodor, saya menyadari ada beberapa pelajaran yang bisa anak-anak petik dari situ. Pertama adalah kebersamaan. Anak-anak yang bermain itu terdiri atas beragam usia dan karakter. Namun, ketika bermain dalam satu kelompok, mereka bersama–sama ingin memenangkan kelompoknya.
Kelompok penjaga berusaha menjaga supaya lawan tidak bisa keluar garis. Mereka bekerja sama menjaga garis supaya lawan tidak bisa keluar. Di sinilah dibutuhkan kekompakan dan pembagian tugas antaranggota kelompok.
Pelajaran yang kedua selain kebersamaan adalah soal produk budaya. Dengan bermain gobak sodor, anak-anak melestarikan kearifan lokal. Mereka masih mau memainkan permainan tradisional meski permainan modern berbasis teknologi saat ini benar-benar menguasai dunia anak.
Maraknya game online memiliki dampak yang luar biasa, lebih banyak yang negatif bagi anak-anak sehingga meresahkan orang tua. Di sisi lain, meski permainan tradisional, gobak sodor mengajarkan banyak hal positif kepada anak-anak. Dengan begitu, sudah seharusnya permainan ini dilestarikan.
Dibandingkan game online, gobak sodor menuntut lebih banyak aktivitas fisik, khususnya berlari. Aktitas tersebut jelas membuat anak-anak lebih sehat karena mereka menjadi aktif bergerak.
Berbeda dengan permainan yang ditawarkan gawai. Saat anak-anak asyik bermain gawai, mereka cenderung malas bergerak dan lebih sering menunduk. Dampak negatif lain dari game online ini selain kecanduan juga memengaruhi kerja otak karena anak-anak menjadi sangat terfokus pada satu hal dalam jangka waktu lama.
Pelajaran lain dalam permainan gobak sodor adalah memupuk toleransi antaranggota kelompok. Menurut Tillman, toleransi adalah sebuah sikap untuk saling menghargai melalui pengertian dengan tujuan mewujudkan kedamaian.
Menerima Masukan
Dalam permainan gobak sodor, anak-anak dalam kelompok harus bisa menerima masukan dari anggota kelompok dalam rangka mengatur strategi agar kelompoknya bisa menang. Di sinilah terpupuk rasa saling pengertian antaranggota. Sebuah pengertian dalam rangka melaksanakan strategi supaya menang serta pengertian menerima kekalahan dengan rasa ikhlas bagi kelompok yang kalah.
Ketika toleransi sudah diperkenalkan sejak dini, harapannya akan membawa dampak yang luar biasa. Pelajaran itu bisa menjadi bekal anak ketika mereka beranjak dewasa.
Sebagai orang tua, kita wajib menanamkan dan memberi contoh sikap toleransi yang diawali dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Sebagai orang tua, kita wajib mendorong bahkan mendukung anak–anak untuk memainkan permainan tradisional yang banyak mengandung nilai-nilai penghormatan akan keberagaman. Dengan demikian, sejak dini anak sudah memelihara dan mempererat persaudaraan dengan teman sebayan mereka.
Upaya-upaya mempererat tali persaudaraan ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan mengingat bangsa kita terdiri atas masyarakat yang majemuk dengan keberagamannya. Dengan memahami toleransi sejak dini, anak akan lebih mampu menghargai perbedaan yang ada di sekitar mereka. Dengan bermain bersama, anak akan menghargai perbedaan dari hal yang paling sederhana, misalnya perbedaan pendapat dalam mengatur strategi permainan.
Selain itu, mereka juga belajar berempati. Empati adalah sikap memahami apa yang dirasakan orang lain. Ketika dalam permainan ada pihak yang kalah dan menang, itu adalah proses yang selalu bergantian. Di sinilah anak berlatih berempati dengan merasakan ketika menjadi pihak kalah ataupun ketika menjadi pihak yang menang.
Saat anak–anak telah mempu bertoleransi sejak dini, kelak ketika mereka beranjak dewasa, mereka akan dapat menghormati orang lain, menghargai perbedaan, berbicara sopan dan santun, menjadi pribadi yang tidak memaksakan kehendak sendiri, menghargai diri sendiri, dan yang lebih penting adalah bisa menerima orang lain yang berbeda fisik, agama, ras, maupun budaya.
Sebagai generasi penerus bangsa, sangat penting memiliki fondasi toleransi sejak dini. Fondasi ini menjadi kunci upaya meningkatkan persatuan dan kesatuan sehingga kedamaian dan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat bisa terwujud.
Tri Siwi Irniasih
Penulis adalah guru di SMKN 3 Sukoharjo.
Sumber: https://www.solopos.com/belajar-toleransi-dari-gobak-sodor-1242774?utm_source=terkini_desktop