Persahabatan Sari dan Lia yang berbeda latar belakang, agama, maupun ras, mengajarkan pada manusia bahwa manusia setara.
Solopos.com, SOLO—Sari adalah gadis kecil berusia 5 tahun. Dia dilahirkan dan dibesarkan di salah satu desa di Kabupaten Sukoharjo.
Sari adalah anak dari keturunan keluarga Jawa. Badannya kecil, berkulit sawo matang bersih, berambut panjang, dan memiliki bakat manari. Sari adalah anak kedua, punya seorang abang dan adik laki-laki.
Pada sore hari yang cerah, Sari bermain bersama teman-teman di kampung. Bocah-bocah kecil asyik bermain dengan permainan tradisional betengan. Bentengan adalah permainan tradisional asal Jawa Tengah. Permainan ini dimainkan dua kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 4-10 orang.
Tujuan akhir bentengan adalah menyentuh benteng lawan. Kelompok yang menjadi pemenang adalah mereka yang lebih dulu menggapai benteng lawan. Ketika bocah-bocah kecil itu asyik bermain, tiba-tiba mereka berhenti. Mereka melihat sebuah keluarga yang datang pindahan dengan membawa barang banyak.
Bocah-bocah kecil itu mengamati keluarga baru yang datang di kampung mereka. Mereka adalah keluarga keturunan China yang terdiri atas sang ayah, ibu, satu laki-laki yang merupakan kakak dan satu anak perempuan yang masih kecil yang bernama Lia.
Lia punya salah satu kekurangan di wajahnya, bibirnya sumbing. Kondisi itu menyebabkan Lia cenderung menjadi anak pemalu dan tidak percaya diri. Saat keluar rumah, Lia selalu menutupi mulutnya dengan sapu tangan. Rumah Sari dan Lia berbelahan. Dua anak kecil itu bermain dengan rukun. Keduanya bahkan menjadi sahabat.
Keluarga Sari dan keluarga Lia pun mendidik anak-anaknya untuk hidup saling menghargai, menghormati, dan tolong-menolong. Sari dan Lia bersahabat sejak kecil. Sari tidak pernah menghina fisik, agama, maupun ras Lia, demikian pula sebaluknya. Sari bersekolah di TK Aisyiyah di dekat rumahnya, sementara Lia di TK Kristen. Keduanya berangkat bersama setiap pagi, jalan kaki berdua dan berpisah di tikungan jalan menuju sekolah mereka masing-masing.
Saat pulang, mereka berdua juga selalu saling menunggu di tikungan jalan supaya bisa pulang bersama. Sesampai di rumah masing-masing, selesai ganti baju, Sari dan Lia bermain bersama.
Kadang Sari main ke rumah Lia atau sebaliknya Lia yang main ke rumah Sari. Begitu setiap hari. Pertemanan mereka tidak sebatas bermain bersama, terkadang mereka juga senang memakai pakaian kembar dan makan bersama.
Keluarga Sari dan Lia menjadi seperti keluarga. Mereka sering pergi piknik ke suatu objek wisata bersama. Dua keluarga yang berbeda latar belakang dan ras ini bisa saling menghargai dan menghormati.
Saat piknik, misalnya, keluarga Lia mempersilakan keluarga Sari untuk istirahat atau berhenti masjid ketika waktu salat tiba. Keluarga Lia akan menunggu di luar. Saat SD, Lia dan Sari tidak bersekolah di sekolah yang sama. Namun, mereka masih bersahabat.
Suatu hari, Lia berpamitan ke Sari. Lia berkata akan menjalani operasi bibir sumbing. Sari mendoakan serta menunggu Lia pulang dari RS. Operasi lancar, Lia pulang dari RS sehingga bisa bermain lagi dengan Sari.
Setelah operasi, Lia makin percaya diri. Namun, dia tidak menjadi sombong. Keduanya tetap menjadi sabahat yang baik. Yang membuat Sari sedih, saat duduk di Kelas IV SD, Lia harus pindah ke Solo mengikuti orang tuanya. Kedua anak itu menjadi sangat sedih. Sari membayangkan hari-harinya akan sepi. Walapun Sari masih punya banyak teman di kampungnya, namun tidak ada yang sedekat dengan Lia.
Beberapa bulan kepindahan Lia, Sari terkejut menerima surat dari Lia. Hati Sari senang sekali, ternyata Lia masih ingat padanya. Lia mengabarkan keluarganya baik-baik saja dan sehat semua. Lia juga menceritakan pengalamannya di tempat baru. Tak lupa, Lia mengirimkan alamatnya yang baru. Persahabat keduanya pun tidak jadi putus. Sari dan Lia saling berkabar melalui surat yang mereka kirim lewat pos.
Suatu saat, Sari meminta ayahnya untuk mengantar ke rumah Lia. Sang ayah mengizinkan dan mengantarkan Sari ke rumah Lia. Setelah lama tak bertemu, akhirnya mereka bertemu juga. Sari dan Lia berbincang-bincang lama. Tak terasa waktu sudah larut malam, Sari harus pulang bersama ayahnya.
Kedatangan Sari membuka kembali pertemanan dua bocah ini. Mereka saling mengunjungi ketika hari libur sekolah. Ketika Sari dan Lia makin besar, mereka makin menghargai dan menghormati perbedaan yang banyak muncul. Terkadang, saat ada jadwal sembahyang di gereja, Sari mengantar Lia ke gereja dan menunggu di luar gereja sampai Lia selesai sembahyang.
Lia pun memperkenalkan Sari pada teman-teman gerejanya. Teman-teman Lia menerima Sari dengan baik tanpa memandang latar belakang agama Sari.
Saat Bulan Ramadan tiba, berganti Lia yang harus menerapkan toleransi. Dia tidak makan dan minum di depan Sari. Bahkan, saat Sari merayakan Hari Raya Idulfitri, keluarga Lia datang ke rumah Sari, memberikan ucapan Salamat Hari Raya Idulfitri.
Persahabat Sari dan Lia berlanjut hingga mereka dewasa. Saat Sari dan Lia menikah, persahabatan mereka masih terjaga. Begitu pula dengan orang tua Sari dan Lia yang masih saling bersilaturahmi.
Kebetulan tempat usaha suami Lia berdekatan dengan tempat kerja Sari. Dengan begitu Sari dan Lia masih bisa sering bertemu. Saat Sari ingin bertemu Lia, Sari memastikan dulu Lia ada di tokonya atau tidak. Setelah pulang kerja Sari akan mampir sebentar ke toko Lia, sekadar berbincang-bincang, menanyakan kabar bahkan saling curhat.
Kerukunan
Namun, persahabatan itu tidak berusia lama. Seperti pepatah bilang “Tak ada yang abadi di dunia ini,” Setalah melahirkan anak ke-2, Lia mengidap penyakit yang sampai sekarang belum ada obatnya. HB Lia tiba-tiba turun, badan lemas, terkadang harus transfusi darah. Itu terjadi ketika Lia terlalu capai badan dan pikiran.
Lia berjuang menghadapi penyakitnya selama dua tahun. Sari sering berkunjung ke toko Lia untuk melihat keadaan Lia dan memberikan motivasi. Namun, Tuhan lebih sayang pada Lia. Satu pekan sebelum Lia meninggal, Sari sempat menjenguk Lia di RS.
Ketika itu, Lia masih bersemangat dan bisa bercanda dengan Sari. Karena waktu menjenguk sudah habis, Sari pamit. Ibu Lia tiba-tiba menangis sambil memeluk Sari. Tak kuasa Sari pun ikut menangis.
Dan berita mengejutkan diterima Sari. Saat itu siang hari. Sari yang tidak pernah membuka Facebook, tiba-tiba membukanya. Dan gemetarlah tangannya saat melihat salah satu sautan yang memposting foto Lia dengan kata-kata, “Selamat Jalan Lian Natalia, Semoga Kamu tenang di sisi-Nya.”
Sari tak percaya dengan postingan itu. Dia mencari kebenaran berita itu. Namun, telepon Lia tidak ada yang mengangkat, nomor suami Lia juga sama saja. Ibu Lia juga tak mengangkat panggilannya. Dia akhirnya menelepon kakak Lia. Lemaslah tubuh Sari, dia menangis sejadi-jadinya saat sang kakak membenarkan kabar adiknya telah tiada.
Sari langsung menuju rumah Lia. Namun, jenazah Lia sudah dimakamkan. Melihat Sari yang terus menangis, suami Lia berkata, “Dik Lia senang di sana, sudah tidak sakit lagi. Tuhan lebih sayang Lia. Kamu [Sari] adalah teman, sahabat, dan saudara terbaik Dik Lia. Terima kasih sudah jadi sahabat terbaik buat Dik Lia.”
Dalam perjalanan pulang, Sari masih meneteskan air mata. Dalam hatinya pun berkata, “Ternyata hanya sampai di sini kita dipertemukan. Tapi, kamu [Lia] tetap hidup dalam hatiku, kamu sahabat yang mengajarkan banyak hal. Kekeluargaan ini tidak akan hilang walapun kamu sudah tiada.”
Sepeninggal Lia, hubungan dua keluarga yang berbeda latar belakang, keturunan, dan agama ini tetap terjalin. Kedua keluarga tetap menjaga silaturahmi dengan saling mengunjungi di waktu longgar atau libur. Perbedaan membuat semuanya menjadi indah. Rasa saling menghargai dan menghormati dapat menciptakan kerukunan dan persaudaraan yang membuat hidup kita damai dan nyaman.
Wuri Damayanti
Penulis adalah guru di SMK Negeri 3 Sukoharjo
Sumber:https://www.solopos.com/mengenang-sahabat-1273902?utm_source=terkini_desktop