Perwakilan guru SMA/SMK di Soloraya antusias mengikuti program Internalisasi Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme bersama Solopos di Solia Hotel Yosodipuro Solo, Jl. Yosodipuro No.31-33, Solo, Selasa (23/2/2021). Mereka mendapatkan makna keberagaman dari cerita para aktivis keberagaman. Kegiatan ini digelar selama tiga hari hingga Kamis (25/2/2021) oleh Solopos Insitute.
Anis Fariathin, salah satu narasumber, selama 34 tahun mengabdi sebagai guru Pendidikan Agama Islam di SMA PIRI 1 Yogyakarta. Stigma dan diskriminasi merupakan makanan sehari-hari bagi dia sebagai pengajar di sekolah swasta tersebut.
Bagaimana tidak, pendiri SMA PIRI 1 Yogyakarta merupakan orang yang berafiliasi sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Dia pernah mendapati sejumlah peserta didik baru keluar sekolah karena mendapatkan stigma dari masyarakat.
Anis menjelaskan SMA PIRI 1 Yogyakarta berdiri sejak 1947. Pada era reformasi mulai banyak serangan diskriminasi. Diskriminasi memuncak ketika Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa mengenai Ahmadiyah sesat. Padahal, terdapat perbedaan antara Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan GAI.
Menurut Anis, GAI dan JAI memiliki perbedaan konsep ketokohan Mirza Ghulam Ahmad, tokoh sentral dalam ajaran Ahmadiyah. Perbedaan yang kedua mengenai baiat. Stigma masyarakat terjadi karena ada politisasi.
“Di mata negara dengan jaminan UUD 45, siapa pun tidak boleh mengecap Ahmadiyah sesat, baik terhadap GAI maupun JAI. Menolak boleh kalau enggak sepaham, tapi enggak boleh memusuhi dan memusnahkan,” papar Anis.
Anis mengatakan SMA PIRI 1 Yogyakarta kini memiliki sekitar 150 peserta didik dengan berbagai kepercayaan. Guru menerapkan sistem belajar mengajar dengan membongkar prasangka supaya melunturkan stigma sampai para murid memahami nilai keberagaman.
Narasi Baik
Dalam acara ini juga hadir sebagai narasumber guru Pendidikan dan Budi Pekerti (Pendidikan Interreligius) SMA BOPKRI 1 Yogyakarta, Sartana. Ia mengatakan guru menjadi keteladanan. Tapi, bukan sumber ilmu bagi para murid sehingga bisa merasakan suasana murid dalam proses belajar mengajar. “Guru tidak bisa menjadi penguasa kelas. Guru yang benar adalah guru yang belajar dari muridnya dan belajar bersama muridnya. Itu sifat kerendahan seorang guru,” paparnya.
Ia mengaku memiliki 840 siswa. Mereka merupakan anak dengan berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan bahasa.
Sedangkan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan Makamhaji, Sukoharjo, K.H. Dian Nafi, yang juga jadi narasumber menjelaskan arti keberagaman. Ia menjelaskan yang paling berharga dalam keberagaman adalah toleransi (kecapaian masyarakat dalam keragaman), tolerasi (hubungan antara negara dan rakyat sehingga adil kepada seluruh warga budaya, agama, politik), kesenasiban, dan solidaritas untuk mencapai rasa aman, rukun, adil, dan sejahtera.
Sementara itu, Project Leader Internalisasi Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme, Sholahuddin, menjelaskan kegiatan ini diikuti oleh 32 guru yang akan dibagi dalam dua sesi. Mereka merupakan guru mata pelajaran Agama, PPKN, Bahasa Indonesia, dan pembimbing jurnalistik dari delapan sekolah Soloraya yang akan membagikan literasi keberagaman kepada guru lain dan peserta didik.
“Wacana toleransi keberagaman dalam media sosial sangat minim. Kami ingin mewarnai dan membuat tandingan dengan mengisi ruang publik dengan narasi yang baik,” paparnya.
Sumber : https://www.solopos.com/menyemai-makna-nilai-keberagaman-melalui-jurnalisme-1109044