Saya tertegun dengan kreativitas siswa peserta Ekstrakurikuler (Ekskul) Jurnalistik di SMKN 2 Klaten kala membuat majalah dinding (mading). Media sekolah itu menggabungkan dua konsep, madding dua dimensi dan tiga dimensi.
Mading dua dimensi ditempel di dua papan. Papan sebelah kiri menggambarkan bentuk keberagaman dan toleransi masa lalu saat negara Indonesia belum lahir. Orang menyebutnya Nusantara.
Sedangkan papan sebelah kanan menggambarkan realitas keberagaman saat ini. Keberagaman, menurut konseptor mading, sesungguhnya ada sejak tempo dulu. Berbagai perbedaan suku, budaya, agama, bahasa, pendapat, dan sebagainya.
Tokoh-tokoh masa lalu mampu merawat keaneragaman itu menjadi kekuatan pemersatu. Menjadi modal sosial untuk mengusir penjajah. Meskipun samasama dalam realitas keberagaman, dua tempo itu menunjukkan nuansa berbeda.
Keberagaman saat ini acapkali melahirkan konfl ik dan kekerasan. Banyak konflik yang digambarkan dalam mading itu. Ini menjadi ironi.
Menariknya, dua papan madding itu dihubungkan miniatur jembatan tiga dimensi. Di atas jembatan mungil ditempeli kertas bertuliskan, “Jembatan Keberagaman”. Jembatan sebagai symbol penghubung guna mentransformasikan sikap terhadap keberagaman, nilainilai toleransi masa lalu sehingga bias mewarnai nilai-nilai keberagaman di era sekarang.
Ini ide menarik. Imajinasi anakanak ekskul jurnalistik ini yang patut menjadi renungan bersama. Mading diproduksi sebagai bagian dari lomba program Literasi Keberagaman melalui jurnalisme yang diprakarsai Solopos Institute. Mading ini menjadi salah satu pemenang.
Siapa yang punya ide menyusun mading? Mereka menjawab ide muncul melalui diskusi bersama. Mereka bisa mengurai berbagai pendapat menjadi satu ide. Siapa yang membuat miniatur jembatan? Sekitar empat anak mengacungkan jari. Mereka siswa di Jurusan Teknik Bangunan. “Ooo… pantesan jembatannya bagus,” kata saya tingkat.
Jembatan punya filosofi yang dalam. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jembatan jalan (dari bambu, kayu, beton, dan sebagainya) yang direntangkan di atas sungai (jurang, tepi pangkalan, dan sebagainya); titian besar. Jembatan juga bermakna perantara; penghubung. Jembatan bisa mempertemukan orang dari dua tempat yang terpisah. Jembatan juga bermakna sikap tengahan, moderat, tidak berada pada kubu ekstrem.
Jembatan adalah sintesis, titik temu. Sintesis hasil dari dialektika melalui proses dialog panjang dengan kelapangan hati dan pikiran terbuka. Dialektika, dalam perspektif Hegel, adalah dua hal yang saling dipertentangkan lalu didamaikan melalui proses tesis (pengiayaan), antitesis (penyangkalan) dan jadilah sintesis (kesatuan kontradiksi).
Jembatan merupakan konsep ideal (ideal type) dalam bangunan besar masyarakat. Tentu untuk mencapai konsep ideal perlu perjuangan. Dalam batasbatas tertentu menjadi utopis, seperti mimpi. Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, mengatakan menjadi jembatan pemersatu tidak mudah. Ibarat jembatan yang menghubungkan dua tempat, kalau diinjak-injak dan tidak kuat jembatan bisa roboh. Tapi, lanjut Haedar, memilih menjadi jembatan sungguh pilihan yang mulia.
Saat ini bangunan sosial masyarakat Indonesia, bahkan dunia, begitu mudah terbelah. Keterbelahan itu agak kabur penyebab dan kelompok mana yang masuk dalam kubu-kubu itu. Dua kelompok bisa saling berhadapan pada satu isu. Pada isu lain mereka bergeser pada kubu yang lain pula. Berjalan mengikuti isu terkini. Segregasi seperti konfl ik laten (tersembunyi). Hal laten ini menjadi manifes (nyata) saat ada isu sebagai pemicu. Sementara isu sebagai pemicu hampir tiap hari muncul, khususnya di ruang maya, menyebar ke mana-mana. Antarkubu saling mengonstruksi pesan sesuai kepentingannya.
Yang muncul kemudian adalah sikap: siapa saya, siapa Anda. Perasaan in group (dalam kelompok) dan out group (luar kelompok). Agama saya, agama Anda. Ada kelompok super kaya (crazy rich) di satu sisi, ada kelompok sekadar piknik saja susah. Siapa calon presiden pilihan saya, siapa calon presiden pilihan Anda Ada kelompok propawang hujan pada acara Balapan MotoGP di Mandila, ada kelompok yang menuding pawang hujan sebagai perilaku kemusyrikan.
Dalam sebuah pelatihan peningkatan kemahiran Bahasa Indonesia, muncul pertanyaan menarik. Ada seorang peserta yang bertanya, mana yang benar kata jamaah atau jemaah? Si penanya cerita dia bingung saat membuat pamflet momen keagamaan. Saat dia menulis Jemaah di pamfl et, ada yang protes. Kata si pemprotes, Jamaah itu untuk muslim, jemaah itu untuk nonmuslim. Saya tersenyum mendengarnya. Wow… bahasa pun punya agama. Jika mengacu ke KBBI, yang baku adalah jemaah. Maknanya rombongan atau kumpulan orang beribadah. Bisa juga berarti orang banyak atau public
Perang Rusia vs Ukraina pun publik terbelah. Tiap kubu memproduksi teks untuk mendukung jagonya. Presiden Rusia Vladimir Putin dikonstruksi sedemian rupa bak pahlawan. Padahal Putin yang memerintahkan Rusia menyerang Ukraina. Dia adalah agresor. Aneh bukan? Apapun dalihnya, menyerang negara lain tidak dibenarkan dalam hukum internasional.
Peradaban Primitif
Perang adalah bagian dari peradaban primitif yang masih diagung-agungkan manusia modern. Perang sebagai alat menancapkan hegemoni kekuasaan antarbangsa. Saling mendukung negara yang berperang adalah cara berpikir yang tidak kalah primitifnya. Mereka bersorak bak menonton sepak bola. Mereka bergembira di balik korban perang yang mengusik nurani. Korban meninggal, luka-luka, menjadi pengungsi, kerusakan infrastruktur. Perang mematikan hasil kreasi budaya dan peradaban yang telah dibangun dalam tempo berabad-abad.
Saya jadi ingat Johan Galtung, perintis utama studi konfl ik dan perdamaian, yang melahirkan jurnalisme damai (peace journalism). Saat ada kelompok yang bertikai, jurnalisme wajib membangun pesan yang mendamaikan. Membangun pesan agar kedua pihak menemukan jalan keluar. Jurnalisme damai melihat perang dari perspektif korban. Bukan malah tertawa di balik pihak yang saling kirim rudal. Pesan Galtung ini untuk siapa saja, termasuk para pembuat pesan di media sosial. Dialetika yang baik saat dialektika itu mampu melahirkan pengetahuan baru yang mendorong orang dari yang belum tahu menjadi tahu. Perdebatan yang tidak mampu melahirkan sintesis, pengetahuan baru, pencerahan baru sebenarnya perdebatan semu, palsu dan sia-sia. Ini adalah paradoks manusia modern hasil revolusi paling gagah sepanjang abad: Revolusi Industri 4.0. Tapi mereka senang, tertawa terbahakbahak, bersorak-sorai hidup dalam kepalsuan. Ironis memang. Tapi itu faktanya.
Berbagai ontran-ontran itu adalah bentuk anomali sejarah. Melenceng dari garis kewajaran. Apakah ini hanya fenomena sementara atau justru akan menjadi awal anomali-anomali lain yang lebih absurd? Saya tidak tahu. Kita ikuti saja alur sejarah ini.
Yang pasti, kita perlu banyak belajar kepada anak-anak SMK ini. Saya optimistis, mereka bukan hanya generasi yang kelak mampu membangun jembatan dalam arti sebenarnya. Mereka juga bisa menjadi penengah, memoderasi, pengurai benang kusut, menghasilkan sintesis, menemukan kalimah sawa (titik temu) sehingga melahirkan peradaban baru yang tercerahkan.
Semoga…
Sholahuddin
Project Leader Program Literasi Keberagaman Solopos Institute
Sumber: Solopos 01 April 2022 Hal 2 Opini