Blog

Di Kampung Damai, Anak-Anak Menulis tentang Toleransi

Forum Anak Damai Kelurahan Tipes

Stereotip atau prasangka yang tidak tepat dan sangat subjektif bukanlah hal yang bisa dibenarkan. Dia menjadi salah satu penyebab munculnya sikap diskriminasi yang sering kali berujung pada perselisihan bahkan konflik yang melibatkan kekerasan. Dengan membicarakan dan mendiskusikannya, anak-anak belajar bahwa akibat dari prasangka hanyalah kerugian bagi manusia.

Sebanyak 40 anak, dari usia SD sampai SMA, berkumpul di Perpustakaan Umum Dwija Premana Kelurahan Tipes, Kecamatan Serengan, Kota Solo sekitar pukul 14.30 WIB. Pada Rabu-Kamis (23-24/11/2021) itu, mereka mengikuti acara yang digelar Solopos Institute, yakni Pelatihan Jurnalisme Damai. Redaktur Solopos, Ayu Prawitasari, yang memberikan materi selama dua hari itu.

Pada hari pertama, acara pelatihan difokuskan pada pemberian pemahaman mengenai nilai-nilai toleransi. Anak-anak diajak berdiskusi tentang nilai-nilai toleransi beserta kendala dalam mewujudkannya. Salah satu kendala itu bernama stereotip.

Sejumlah peserta lantas mengungkapkan berbagai stereotip yang pernah mereka dengar dan mereka lihat. Salah satunya stereotip berbasis ras, khususnya tentang warga Tionghoa. Anak-anak itu mengaku sering mendengar warga Tionghoa adalah warga yang berlebihan secara ekonomi, namun mereka pelit dan minim empati. Warga Tionghoa mendapatkan kekayaan dari toko kelontong yang mereka punya secara turun-temurun. Stereotip lain adalah tentang orang Jawa yang ciri khasnya adalah orang yang santun, sabar, dan sederhana.

Setelah semua bentuk stereotip terkumpul, anak-anak pun berdiskusi. Dari diskusi itu mereka menyadari bahwa stereotip seringkali salah dan merugikan. Contohnya, tak semua warga Tionghoa punya toko karena ada dari mereka yang bekerja di bidang lain, sebagai guru atau dosen. Selain itu, sifat pelit, misalnya, tidak tergantung dari ras. Pelit adalah salah satu sifat manusia.

Diskusi berlanjut mengenai sifat orang Jawa. Seorang peserta, Ahillah mengatakan stereotip tentang orang Jawa tidak benar. Siswa SMP itu mengatakan banyak orang Jawa yang hidupnya jauh dari kesederhanaan. “Banyak juga kok orang Jawa yang sukanya belanja. Semuanya dibeli. Belanja terus. Jadi ya enggak sederhana kan,” kata dia.

Berangkat dari analisis stereotip itu anak-anak berjanji untuk tidak berprasangka kepada orang yang belum mereka kenal. Toleransi, yang di dalamnya mengandung sikap menghormati orang lain, menjadi kunci membentuk lingkungan yang damai.

Kegiatan pun berlanjut. Tugas selanjutnya untuk anak-anak itu adalah menggambar bentuk-bentuk toleransi yang pernah mereka lihat di lingkungan sekitar. Dalam waktu 25 menit, anak-anak mengekspresikan ingatan mereka tentang toleransi itu di selembar kertas HVS.

Macam-macam yang mereka gambar. Ada yang menggambar dua tangan saling berjabat – satu tangan dililit tasbih, sementara tangan yang lain dihiasi gelang dengan aksesori salib. Ada juga yang menggambar meja di sebuah halaman gereja. Di meja itu terdapat banyak makanan yang diberi keterangan ‘paket takjil’.

Tetap Bersahabat

Bellina, seorang siswa SD, menggambar dirinya di dekat gereja sementara sahabatnya yang berkerudung di dekat masjid. “Yang saya gambar ini saya. Ini saya berangkat ke gereja, sementara teman saya yang muslim ke masjid. Meski kita berbeda agama, tapi kita bersahabat. Bersahabat itu kan tidak boleh membeda-bedakan agama supaya Indonesia damai,” kata dia depan para peserta yang lain.

Pada sesi terakhir kegiatan jurnalisme damai, para peserta diminta membaca sebuah berita tentang dua karyawan muslim di sebuah gereja di Klaten yang diterbitkan Solopos.com. Mereka lantas diminta mencari unsur 5 W + 1 H (what, who, when, where, why, dan how) dalam berita itu supaya mereka mengerti mengenai standardisasi sebuah berita sebagai informasi yang akurat. Setelah mengenali ciri-ciri berita, anak-anak lantas diminta menulis pengalaman mereka tentang toleransi dalam format berita.

Ketua LPMK Tipes yang juga Ketua Kampung Damai, Agus Suherman, mengaku senang sekali dengan kegiatan selama dua hari itu. Dia senang anak-anak bisa belajar mengenai toleransi dengan cara yang menyenangkan sekaligus mengekspresikan gagasan serta pikiran mereka dalam bentuk tulisan. Agus berharap ke depan ada kolaborasi lanjutan antara Solopos Institute dengan kampung damai Tipes.

Ajakan itu mendapat sambutan baik dari Manajer Solopos Institute, Sholahuddin. Dia mengatakan siap bekerja sama dengan kampung damai Tipes pada waktu mendatang demi mewujudkan Kota Solo yang toleran (Ayu Prawitasari).

 

Sumber : Harian Solopos, 1 Desember 2021