Perbedaan dialek memunculkan banyak kejadian lucu hingga konflik. Kejadian-kejadian itu seharusnya membuat kita lebih menghargai keberagaman.
Dialek sering dihubungkan dengan kekhasan seseorang ataupun kelompok. Namun, dialek juga sering dihubungkan dengan bahasa, terutama bahasa tutur daerah. Dengan banyaknya keberagaman di Indonesia, tentunya pasti banyak juga dialek yang dihasilkan di setiap daerah.
Dalam buku berjudul Mengungkap Keragaman Budaya karya Tedi Sutardi disebutkan bahwa secara etimologi istilah dialek berasal dari kata dialektis dalam bahasa Yunani. Dalam bahasa Indonesia, dialek ini disebut logat.
Kata logat berasal dari bahasa Arab, yaitu lughah yang artinya denotasi bahasa. Dialek adalah logat bahasa, perlambang, dan pengkhususan dari bahasa induk. Selain itu, dialek merupakan sistem kebahasaan yang digunakan suatu masyarakat untuk membedakan mereka dengan masyarakat lain.
Dilansir dari situs resmi Kementerian dan Kebudayaan Republik Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan dialek ditentukan faktor kebahasaan dan faktor luar bahasa. Dalam perkembangannya, sebuah dialek bahasa daerah bisa diterima sebagai bahasa baku. Ada faktor subjektif maupun objektif yang berperan.
Beberapa faktor yang menentukan diterimanya suatu dialek bahasa daerah menjadi bahasa baku atau bahasa negara adalah faktor politik, kebudayaan, ekonomi, dan ilmiah.
Berdasarkan pemakaian bahasa, dialek dibedakan menjadi empat macam, seperti dialek regional yang merupakan varian bahasa yang dipakai di daerah tertentu. Misalnya, bahasa Indonesia dialek Ambon, dialek Jakarta, atau dialek Medan.
Dialek Medan, sebagai contoh, adalah kumpulan kata-kata yang digunakan masyarakat Kota Medan. Bahasa Medan sebenarnya adalah salah satu dialek Melayu yang terbentuk selama beratus-ratus tahun dan telah bercampur-baur dengan berbagai bahasa, seperti bahasa Batak (Karo, Toba, dan Mandailing), serta bahasa yang dibawa pendatang. seperti Minang, Aceh, dan Melayu Pesisir.
Nggogok
Yang kedua adalah dialek sosial atau dialek yang dipakai kelompok sosial tertentu yang menandai strata sosial tertentu. Misalnya, dialek remaja. Yang ketiga adalah dialek temporal, yaitu dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu. Misalnya, dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
Yang keempat adalah idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang yang khas, pribadi, dalam lafal, tata bahasa, pilihan, serta kekayaan kata. Dari dialek dan bahasa yang bertetangga itu, masuklah tafsir kosakata, struktur, dan cara pengucapan. Nah, ada di antara dialek itu yang kemudian diangkat menjadi bahasa baku. Di sisnilah peran bahasa baku tidak boleh dilupakan.
Ayatrohaedi menjelaskan dialek yang terbagi menjadi lima macam, yaitu yang pertama adalah perbedaan fonetik, yaitu perbedaaan pada bidang fonologi di mana biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak mengalami perbedaan tesebut. Contohnya pada kata krambil dan kambil yang artinya kelapa.
Yang kedua perbedaan semantik, yaitu terciptanya kata-kata baru berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya juga terjadi pergeseran makna. Contohnya adalah pemberian nama yang berbeda untuk definisi yang sama di beberapa tempat yang berbeda. Misalnya, gili dengan dalan yang artinya jalan. Atau juga simbok dengan biyung yang artinya ibu.
Yang ketiga adalah perbedaan onomasiologis, yaitu pemberian nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang sama di beberapa tempat yang berbeda. Misalnya, kata wallet dan walet disebut masyarakat pengguna dialek standar untuk menyebutkan burung walet. Sedangkan di daerah pengguna dialek Banyumas menyebutnya lawet.
Yang keempat adalah perbedaan semasiologis, yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda. Misalnya, kata magelangan. Kebanyakan orang menyebutkan kata magelangan untuk menyebutkan salah jenis nama nasi goreng, nama bus (yang disebutkan nama jurusannya), atau nama asal daerah seseorang.
Sementara, yang kelima adalah perbedaan morfologis, yaitu perbedaan yang dibatasi sistem tata bentuk kata yang berbeda. Perbedaan ini termasuk tingkat yang lebih luas. Maka dari itu, dialek merupakan suatu variasi bahasa nyata yang dapat diamati dan sistem bunyi (fonologi), kosa kata, tata bahasa, morfologi, semantik, leksikal, hingga sintaksis.
Pembagian dialek mengacu pada folklor, tempat, waktu, dan geografis. Dialek merupakan ragam bahasa yang digunakan sekelompok penutur bahasa yang mempunyai ciri-ciri relatif sama serta diasosiasikan dengan geografis.
Dialek terdiri atas dua jenis, yaitu dialek geografi dan dialek sosial. Salah satu ciri dialek adalah para penutur dialek bahasa yang sama masih saling mengerti dan yang membedakan masing-masing dari dialek tersebut aspek fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis. Sedangkan pembagian dialek didasarkan pada faktor daerah atau geografis (regional), faktor waktu (temporal), serta faktor sosial.
Dari berbagai teori tersebut, kita semua harusnya sadar bahwa tolerasi antarsesama mutlak diperlukan. Dialek Karanganyar dengan Boyolali itupun banyak sekali perbedaan, bahkan bahasa sehari-hari yang sering kita ucapkan banyak yang berbeda.
Boyolali masih kental dengan nuansa bahasa daerahnya. Masyarakat Boyolali biasa menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi sehari-hari. Namun, ada beberapa istilah khusus yang belum pernah saya dengar. Istilah tersebut bisa dikatakan khas atau asli dari Boyolali, bahkan bahasa/dialek ini hanya bisa dipahami oleh penduduk setempat. Contoh sederhana adalah istilah duduk di Boyolali, yaitu“nggogok” yang bagi saya itu terdengar sangat asing.
Ora Dasi
Kata yang baru pertama saya dengar. Bahkan, kata itu kali pertama diucapkan ibu mertua saya untuk mempersilakan saya duduk bersamanya. Saat itu, saya bingung dan saya tetap berdiri. Kalau di Karanganyar, ajakan duduk mungkin yang sering kita dengar dengan istilah “lenggah”. Tidak hanya itu, istilah “ora enjoh” membuat saya berpikir dua kali, apalagi ketika suami atau mertua mengucapkannya.
“Ora enjoh” artinya tidak bisa di sini, awalnya saya artikan dengan tidak mau. Itu karena di daerah saya terbiasa dengan istilah “ora iso” Mungkin akan lebih bagus pengucapannya.
Yang suami saya rasakan sama saja. Pada awal suami pindah ke Karanganyar, saat itu ada kerja bakti di kampung. Warga bergotong royong membawa kaya dengan ukuran cukup besar. Mereka mengatakan “ora dasi” (tidak kuat).
Dalam hati, suami saya bingung karena dia pikir maknanya adalah membawa dasi. Sampai di rumah, suami protes ke saya karena dia keberatan apabila bekerja bakti dengan memakai dasi. Dia anggap hal yang aneh. Saya ingin tertawa, namun takut menyinggungnya.
Hal aneh juga ketika suami berkata “Yanx, minta jarang”. Saya sempat emosi karena persepsi saya “jarang” itu tidak pernah melakukan. Ternyata, jarang adalah istilah untuk air panas.
Banyak dialek yang kami sama-sama kurang paham hingga membuat salah tafsir yang ujungnya membuat kami bertengkar. Memang kami akui masih banyak yang harus kami selaraskan untuk dialek ini walaupun kami sudah berumah tangga selama kurang lebih lima tahun.
Dialek asal ini masih sering kami gunakan. Sementara, anak-anak kami otomatis anak akan meniru orang tua mereka dalam berbahasa. Kondisi ini pun sering menimbulkan konflik karena saya dan suami menganggap dialek kami adalah dialek yang terbaik. Sebenarnya, masih banyak lagi dialek yang berbeda. Tapi, kami mencoba menghargai perbedaan itu karena kami tidak mungkin menghilangkan dialek disuatu daerah.
Inti dari tulisan saya ini adalah perbedaan dialek bukan menjadi penghalang di antara kami untuk bekerja sama. Sebaliknya, keberagaman bahasa bertujuan membuat kami lebih menghargai perbedaan.
Anik Purwanti
Penulis adalah guru di SMAN Kerjo
Sumber:https://www.solopos.com/dialek-1238744?utm_source=bacajuga_desktop