Kenapa anak-anak muda justru bangga saat mengakui ketidakpahaman mereka akan konten berbahasa Jawa di kolom komentar media sosial? di media sosial
Solopos.com, SOLO—Orang Jawa dikenal sebagai pribadi yang penuh sopan santun tinggi, baik dalam bertutur kata maupun bertingkah laku. Mereka selalu mengedepankan kelemahlembutan.
Hal ini tampak pada pemilihan kata maupun nada berbicara mereka saat berinteraksi dengan orang lain. Namun, saya melihat, kondisinya saat ini jauh berbeda.
Anak muda yang mampu berbahasa krama alus sangat jarang ditemui. Apabila ditinjau kembali, kemampuan berbahasa krama ini sebenarnya dapat menjadi refleksi kehalusan budi pekerti penuturnya. Oleh karena itu, tidak salah dikatakan bahwa saat ini Wong Jawa lali Jawane (orang Jawa lupa dengan Jawanya).
Masifnya budaya asing yang masuk tanpa filter ketat adalah salah satu penyebab anak muda sekarang kurang mengenal budaya mereka. Di sisi lain, tuntutan globalisasi dan kemampuan menggunakan bahasa internasional menjadikan bahasa krama semakin terpinggirkan.
Hal yang sangat menyedihkan adalah saat remaja justru cuek dengan bahasa ibu mereka. Kondisi sangat miris ini juga tampak di media sosial. Saat ada konten menggunakan bahasa Jawa atau menunjukkan budaya Jawa, anak-anak muda justru bangga meninggalkan komentar seperti, “Aku orang Jawa, tapi enggak ngerti mereka [orang di dalam video konten] ngomong apa.” Komentar lain juga senada, seperti “Apa cuma aku yang lahir dan besar di Jawa, tapi kalau pelajaran bahasa Jawa nilainya jelek?” dan “Aku orang Jawa asli, tapi juga enggak ngerti aksara Jawa.”
Kondisi demikian nyata. Namun, tanpa mereka sadari, para pengguna media sosial dapat menjadi latah saat menerima informasi dari dunia maya. Warganet sangat mudah terpengaruh pada konten dan opini di ruang komentar serta menganggap kondisi-kondisi yang tidak ideal itu sebagai sebuah hal yang wajar.
Mereka dengan gampang menyukai, menyetujui, dan mendukung pendapat dari orang lain tanpa di-tabayyun terlebih dahulu. Hal tersebut membuat argumen-argumen yang tidak benar, yaitu stereotipe tentang budaya sendiri dengan cepat menyebar di media sosial.
Selain itu, anggapan bahwa budaya asing lebih menarik dan asyik memengaruhi para pemuda hingga menganggap budaya lokal, terutama budaya Jawa, adalah budaya yang kuno, kolot, primitif, dan sebagainya. Mereka terhasut stereotipe yang beranggapan budaya lokal ketinggalan zaman dan tidak kekinian.
Dengan dalih selera, fenomena itu seolah-olah menjadi hal yang tidak dapat disalahkan. Oleh karena itu, tidak jarang ketika ada seseorang yang menyanyikan lagu dengan bahasa Jawa, dia justru dianggap membawa kesan mistis. Seluruh tembang Jawa dikira berisi tentang alunan-alunan pemanggil roh, mantra-mantra zaman dahulu, atau menceritakan hal gaib lainnya. Itu terjadi hanya karena tipe musiknya yang lembut dan mengalun-alun!
Sebut saja Kidung Wahyu Kolosebo yang sebenarnya adalah tembang yang digunakan sebagai sarana dakwah Islam. Orang-orang justru menganggapnya sebagai lagu pemanggil makhluk-makhluk gaib. Itu terjadi karena pendengarnya tidak mengetahui arti dari setiap lirik yang ada pada tembang. Ketika ada yang menyanyikan kidung tersebut, seorang kawan saya pernah menyahut, “Ah, kamu jangan nyanyi lagu itulah, takut aku.”
Apabila dicermati lebih dalam, banyak juga tembang Jawa yang berisi tentang ajaran hidup, curahan hati, bahkan menceritakan hiburan asmara saja. Namun, kurangnya pemahaman terhadap bahasa daerah membuat seseorang salah menafsirkan isi hingga menyikapi suatu karya yang berbahasa daerah menjadi negatif.
Mengenalkan bahasa daerah melalui lagu bisa dimanfaatkan sebagai upaya internalisasi nilai-nilai sekaligus melestarikan bahasa daerah. Untuk memberikan pemahaman mengenai esensi dari lagu-lagu berbahasa daerah, saya pikir perlu ada pendekatan yang lebih. Dengan demikian kesalahpahaman para pemuda terhadap tema atau isi dari lagu berbahasa daerah bisa dikurangi. Generasi muda mampu mengerti apakah lagu tersebut menceritakan tentang nasihat, curahan hati, atau hiburan semata. Solusi untuk mengatasi persoalan bahasa daerah di tengah globalisasi adalah dengan mengutamakan bahasa Indonesia, menguasai bahasa asing, dan melestarikan bahasa daerah.
Pengaplikasian bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah harus sesuai pada tempat dan porsinya masing-masing. Dengan begitu ketiganya dapat kita terapkan tanpa perlu mencampur-aduk sehingga menyebabkan banyak kesalahan dalam penggunaannya. Tidak tumbuhnya kecintaan pada budaya sendiri, terutama bahasa daerah adalah karena kurang dikenalkannya budaya tersebut sejak dini. Budaya sendiri akhirnya menjadi terasa asing. Memang, selera orang tidak dapat disamakan. Setiap orang juga berhak untuk menyukai budaya mana saja. Namun, yang perlu diingat adalah jangan sampai kesukaan kita pada budaya luar membuat kita gandrung dan justru melupakan budaya sendiri serta menjatuhkan keberadaannya.
Jadi, tetaplah banyak berliterasi dengan karya-karya dari budaya daerah. Kebudayaan daerah sesungguhnya sangat beragam. Kita bisa membaca, mendengarkan, menonton, dan juga menampilkannya. Selain itu, singkirkanlah stereotipe bahwa budaya kita adalah budaya yang kuno, kolot, primitif, dan membosankan. Akhir kata, ayo utamakan bahasa Indonesia, kuasai bahasa asing, dan lestarikan bahasa daerah!
Editor : Ayu Prawitasari
Penulis: Faizatul Irbah
Siswa SMAN 1 Sukoharjo
Juara III Lomba Esai
Sumber: https://www.solopos.com/bahasa-daerah-dan-globalisasi-1305602?utm_source=terkini_desktop.