Bagi para korban perundungan di sekolah, segeralah lapor gurumu supaya mendapat perlindungan.
Solopos.com, SOLO—Nama saya Ika Safitri. Saya adalah murid Kelas XII SMKN Ngargoyoso. Saya memiliki sahabat. Dulunya dia adalah orang yang ceria dan selalu tersenyum. Namun, kejadian yang tidak terduga membuatnya berubah menjadi siswa yang pendiam dan rendah diri.
Nina adalah nama sahabat saya yang mengalami kejadian pahit di masa sekolah. Sekolah yang sejatinya merupakan tempat bermain dan belajar untuk meraih cita-cita dapat berubah menjadi penjara menyakitkan bagi beberapa siswanya.
Ada kisah menyakitkan yang diawali pada Oktober lalu. Sekolah yang awalnya menjadi tempat paling menyenangkan, justru berubah menjadi tempat menakutkan, yang paling Nina hindari.
Media sosial yang seharusnya menjadi media pembelajaran berubah menjadi monster mengerikan. Saat siswa lain dapat belajar dengan nyaman melalui media sosial, tidak dengan Nina yang dihantui rasa sesak sampai ulu hati. Persoalan ini bukan karena Nina tidak bisa mengerjakan tugas, bukan juga karena Nina tidak bisa mengikuti perkembangan zaman.
Dulu Nina adalah siswa dengan nilai di atas rata-rata. Namun, perceraian orang tua telah menjungkirbalikkan masa remaja Nina. Satu tahun lalu, keluarga Nina merupakan keluarga yang harmonis, bahkan menjadi keluarga idaman setiap orang. Masa sekolah menjadi masa paling menyenangkan kala itu. Semua berubah ketika permasalahan bapak dan ibunya sudah mencapai kata cerai.
Tidak sampai setengah tahun bercerai dari bapaknya, ibu Nina menikah lagi dengan seorang laki-laki kaya di daerahnya. Kondisi tersebut menjadi buah bibir di lingkungan Nina tinggal. Buah bibir ini bukan hanya karena cepatnya ibu Nina mendapat penganti bapaknya, akan tetapi juga karena ibu Nina dianggap sebagai perebut lelaki orang atau pelakor. Label pelakor menjadi julukan Nina yang baru.
Nina tidak menyangka kejadian tersebut membuatnya merasa tersudut. Bukan hanya lingkungan yang memberikan label tersebut, namun juga teman-teman sekolahnya. Ungkapan anak pelakor ini Nina dengar langsung dari teman-teman sekolahnya.
Peristiwa tersebut terjadi ketika awal pembelajaran tatap muka terbatas pada awal Oktober 2021, yaitu pada saat Nina makan siang di kantin sekolah. Segerombolan siswa datang menghampiri Nina tiba-tiba sambil berucap kata-kata kasar dan sangat keras. Kata-kata mereka didengar hampir seluruh penghuni kantin. Gerombolan siswa itu menuding Nina dengan kata-kata “Inakor” yang merupakan kepanjangan Nina si anak pelakor, ibu yang gila harta, dan lain sebagainya.
Nina yang kaget dengan situasi tersebut langsung pergi meninggalkan kantin dengan menangis tersedu. Tragisnya teman-teman yang lain tidak ada yang berusaha membela Nina atau menenangkan Nina. Saya menjadi teman Nina yang menyampaikan keluh kesahnya kepada teman-teman yang lain.
Sejak kejadian di kantin tersebut, media sosial Nina dipenuhi berbagai komentar teman-teman Nina yang menyebutnya sebagai anak pelakor. Sampai pada suatu hari, Nina bercerita kalau dia merasa muak dan mendidih hatinya untuk membalas teman-temannya. Namun, Nina tidak mampu karena kesalahan ibunya memang benar terjadi. Kemarahan Nina terhadap keadaan itu sudah sampai pada tahap membanting HP bahkan semua barang di rumah ikut menjadi sasaran.
Adik yang tidak bersalah pun ikut terkena imbas emosinya. Nasihat dari saya, bapak, dan neneknya sudah tidak dia hiraukan. Di pikirannya saat itu hanyalah kesalahan ibunya membuat dia ingin menghilang dari Bumi ini.
Hampir seluruh teman SD sampai SMK mengetahui kejadian tersebut. Nina berpikir pelakor akan menjadi nama belakangnya. Nina yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari orang lain karena perpisahan kedua orang tuanya, menjadi anak yang depresi gara-gara label anak pelakor.
Karena sudah tidak tahu lagi hendak mengadu ke mana, saya akhirnya melaporkan hal tersebut kepada guru bimbingan dan konseling saya di SMK, yaitu SMKN Ngargoyoso. Saya menceritakan dengan runtut sesuai yang saya ketahui mengenai permasalahan Nina yang mengalami bullying dari teman-teman di sekolah.
Bullying tersebut bahkan juga menghampiri media sosial Nina yang komentarnya bahkan dapat dilihat dengan mudah oleh banyak lain dari segala penjuru. Paginya, Pak Rohmat selaku guru BP menemui saya dan Nina untuk dipertemukan dengan Wahyu dan Rohmah, temanku yang paling keras mengejek Nina. Wahyu dan Rohmah akhirnya minta maaf kepada Nina sambil menangis.
Pak Rohmat menjelaskan walaupun Nina tidak bersalah, namun label itu akan tetap melekat pada diri Nina karena hal itu sudah telanjur menjadi buah bibir di masyarakat. Nina dinasehati Pak Rohmat agar mampu menerima keadaan dan tidak menjadikannya sebagai beban kehidupan karena beberapa permasalahan dapat terselesaikan dengan keikhlasan.
Jangan sampai permasalahan orang tua menjadi penghambat masa depan pendidikan Nina. Besoknya, Nina ke sekolahan ditemani Wahyu dan Rohmah sebagai bentuk tanggung jawab dan permintaan maaf mereka. Pak Rohmat mengatakan akan selalu memantau Nina di sekolah dan juga memberikan jurnal harian yang harus Nina isi.
Jurnal itu berisi kegiatan Nina setiap hari di rumah berikut aduan terkait perilaku teman-temannya, baik di sekolah maupun di sosial media. Dari cerita tersebut maupun kejadian yang sahabatku alami pada 2021, saranku adalah jadikan itu sebagai pelajaran. Siswa yang menjadi korban perceraian orang tua sebaiknya mengadu kepada guru BP agar mendapat perlindungan dari sekolah. Demikian juga bagi korban perundungan, janganlah kamu putus asa dan depresi. Segeralah melapor kepada guru BP.
Saat ini, Nina menemukan sudah semangat baru untuk melanjutkan prestasi walaupun dia adalah korban perceraian orang tua. Nina akhirnya mendapatkan ruang yang sama di sekolah dan sosial media karena bantuan guru BP. Terima kasih sekolahku tercinta, terima kasih SMKN Ngargoyoso.
Editor : Ayu Prawitasari
Penulis: Ika Safitri
Siswa SMKN Ngargoyoso
Juara harapan I Lomba Esai
Sumber: https://www.solopos.com/jangan-samakan-aku-dengan-ibuku-1305612?utm_source=terkini_desktop.