Ada banyak doa dan kebersamaan yang bisa kita pelajari dari tradisi bancakan weton.
Solopos.com, SOLO—Indonesia dikenal sebagai negara majemuk yang terdiri atas berbagai suku, adat istiadat, agama, serta kepercayaan yang berbeda-beda. Keberagaman ini menciptakan sebuah tradisi masyarakat yang lekat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah tradisi bancakan weton.
Bancakan weton adalah peringatan hari lahir berdasarkan saptawarna dan pancawarna yang merupakan tradisi masyarakat Jawa yang berputar 35 hari sekali. Peringatan hari kelahiran masyarakat Jawa dilakukan 35 hari sekali, berbeda dengan acara ulang tahun yang diperingati setahun sekali.
Tujuan wetonan atau bancakan weton adalah ucapan rasa syukur atas rahmat-Nya sekaligus sebagai permohonan kepada-Nya agar orang yang diselamati diberi keselamatan dan kesuksesan pada hari-hari selanjutnya.
Sebenarnya tidak semua warga yang melupakan tradisi dan kebudayaan dimiliki bangsa ini. Masih banyak orang yang dengan tulus ikhlas melestarikan dan menjaga kebudayaan tersebut di tengah gencarnya arus budaya dari barat.
Salah satunya di Kota Gaplek, sebutan untuk Kabupaten Wonogiri di Jateng. Secara administrasi, Wonogiri berbatasan dengan Ponorogo Jatim di sebelah timur. Sebelah selatan dengan Samudra Indonesia, sebelah barat dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sementara yang utara dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo.
Tradisi bancakan weton masih saya temukan di Dusun Jendi, Selogiri. Kegiatan itu bisa dilakukan secara mewah atau sangat sederhana (ala kadarnya). Selamatan weton dilakukan pada weton kelahiran, seperti Senen Pon, Selasa Kliwon, Minggu Wage, dan lainnya. Bancakan weton biasanya diselenggarakan pada sore hari atau pagi hari.
Umumnya mereka mengundang anak-anak untuk meramaikan. Sebelum selamatan (acara) dimulai, banyak persiapan yang dilakukan anggota keluarga.
Mereka mengolah bahan dan memasak bersama-sama. Adapun masakan yang harus disiapkan untuk bancakan berupa nasi tumpeng, gudangan atau kulupan (berbagai macam sayuran yang direbus) ingkung, telur, dan juga jajanan pasar.
Kelengkapan bancaan mempunyai banyak makna. Nasi putih yang dibuat berbentuk tumpeng atau kerucut adalah simbol dari gunung. Bentuk itu merupakan interprestasi dari doa manusia yang menuju ke atas (Tuhan), tumuju marang pangeran (tertuju kepada Tuhan). Dedonga anteng, meneng, metentheng (berdoa dengan tenang, diam dan teguh).
Selanjutnya ingkung (ayam yang dimasak utuh). Maknanya adalah ingsun tansah menekung (Aku selalu menyembah dan memohon kepada Tuhan).
Gudangan atau kulupan yang terdiri atas beraneka macam sayuran yang direbus memiliki makna gudange duwit (gudangnya uang). Sakparan-paran ora kepaten dalan (Di manapun tidak tersesat jalan). Sayuran yang dipakai untuk gudangan umumnya adalah bayam (adem ayem). Bayam mempunyai makna ketenteraman yang identik dengan kehidupan yang dicari manusia Jawa. Urip ayem tentrem (Hidup tenteram damai).
Ada pula kacang dawa (Yuswa dawa) atau kacang panjang. Maknanya adalah permohonan umur panjang. Kacang ini disajikan dengan tidak dipotong-potong, tetapi dibiarkan memanjang karena merupakan simbol dari umur panjang manusia serta rezeki yang tidak terpotong-potong.
Selanjutnya adalah cambah (tansah semrambah). Cambah atau taoge mempunyai makna tanasah semrambah yang artinya selalu menyebar. Telur ayam jumlahnya bisa 7 (pitu) atau 11(sewelas) bermakna pitulungan (7) atau kawelasan (11).
Apabila sudah lengkap. nasi tumpeng dengan segala isinya diletakkan di cobek yang diberi alas daun pisang. Upacara bancakan weton siap dimulai atau dilaksanakan.
Anak-anak dipanggil agar segera berkumpul. Setelahnya doa dari ibu, atau nenek untuk anak yang diwetoni. “Nini among Kyai among, ngaturaken pisungsung kagem para leluhur ingkang sami nurunaken jabang bayine………………. (disebutkan nama anak yang diwetoni) mugi tansah kersa njangkung lan njampangi lampahipun, dados lare/tiyang ingkang tansah hambeg utama, wilujeng rahayu, mulya, santoso lan raharja, wilujeng rahayu kang tinemu, bandha lan begja kang teka kersaning Gusti.
Artinya Kiai among nyai among perkenankan mengaturkan persembahan untuk para leluhur yang menurunkan jabang bayi………. (menyebut nama anak yang diwetoni), semoga selalu membimbing, mengarahkan setiap langkahnya agar menjadi orang yang berbudi pekerti luhur, selamat dan mulia dunia akhirat. Selamat selalu didapat, sukses, dan keberuntungan selalu datang, Semua atas izin Tuhan.
Anak-anak yang diundang dengan kompak, tanpa aba-aba, menjawab “nggeh”. Setelah nasi tumpeng didoakan, nasi itu siap untuk dibagi.
Yang kali pertama mengambil nasi tumpeng di bagian pucuk (puncak) adalah orang yang diwetoni. Setelah itu, baru nasi, lauk gudangan, dan kelengkapan lain yang menjadi bancakan dibagikan dan dimakan bersama-sama.
Dari tradisi bancakan weton banyak hal yang bisa kita petik. Tradisi bancakan weton bagi masyarakat Jawa melambangkan penghayataan dan penghargaan terhadap nilai-nilai moral, spiritual, tradisi, dan agama.
Simbolisme menekankan pada harmoni dan upaya manusia Jawa dalam menjalani kehidupan dengan memegang aturan sosial, ajaran moral, hingga tradisi dan ajaran agama. Simbol dalam tradisi bancakan weton bisa dirunut dari uba rampe yang digunakan, yaitu nasi tumpeng, gudangan, telur, dan perangkat yang digunakan, seperti daun pisang. Makna moral dan makna spiritual bancakan weton berakar pada keyakinan masyarakat tentang harapan akan keselamatan dan kemujuran.
Rini Kendarsih
Penulis adalah guru di SMKN 3 Sukoharjo
Sumber:https://www.solopos.com/bancakan-weton-1251074?utm_source=terkini_desktop