Dari persahabatan ayah yang orang Jawa dan pemilik toko onderdil yang orang China, saya belajar mengenai keberagaman.
Solopos.com, SOLO—Indonesia yang kita cintai ini merupakan negara yang memiliki keberagaman. Ada keanekaragaman hayati, keanekaragaman budaya, bahasa, suku, hingga kenekaragaman agama.
Keanekaragaman agama adalah sesuatu yang tidak dapat kita tolak dan tidak dapat dapat kita hindari. Berlatar belakang kerajaan-kerajaan yang memiliki agama berbeda, bangsa Indonesia berdiri dan menjadi negara yang merdeka serta berdaulat.
Keberagaman beragama di Indonesia sudah seharusnya mulai diajarkan kepada anak anak. Merekalah yang nantinya akan melanjutkan kehidupan bangsa Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang menuju negara yang lebih maju.
Tugas dan tanggung jawab generasi muda untuk membawa Indonesia menjadi negara yang semakin maju ini jangan sampai dinodai dengan didikan dan penanaman tentang intoleransi. Intoleransi akan menjadi sebuah ancaman bagi keberlangsungan kehidupan di Indonesia.
Intoleransi dapat muncul dan menghinggapi diri anak-anak apabila di keluarga tidak diajarkan secara nyata bagaimana hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda agama. Peran orang tua sangat penting dalam memberikan contoh nyata dengan cara yang berbeda-beda karena menyesuaikan perkembangan zaman.
Soal pendidikan dari orang tua ini, saya akan bercerita. Orang tua saya hanyalah pedagang onderdil kendaraan di sebuah pasar di Kota Jogja. Latar belakang pendidikan mereka rendah.
Untuk memenuhi persediaan dagangan, orang tua kami harus membeli atau istilahnya kulakan di toko-toko milik orang China. Meskipun orang tua saya hanya pedagang kecil dengan modal yang kecil pula, tetapi dalam berdagang, mereka selalu mengedepankan kejujuran. Orang tua saya selalu membangun kemitraan yang baik dengan toko-toko milik orang China.
Saya sebagai anak selalu ditunjukkan dengan contoh nyata tanpa perlu ada wejangan atau semacam tutur kata yang panjang lebar dalam menjalin pertemanan dengan orang yang berbeda agama. Saya dan saudara-saudara saya melihat langsung bagaimana orang tua kami mempunyai kemitraan yang baik dengan orang-orang China.
Saling Mengundang
Saking baiknya kemitraan itu, keluarga saya jadi mengenal dekat keluarga pemilik toko. Ketika mereka mempunyai hajatan, misalnya, keluarga saya diundang. Pun saat Hari Raya Idulfitri, mereka datang ke rumah kami.
Pemilik toko adalah orang China dan agamanya berbeda dengan agama yang kami anut. Namun, saat mereka datang berkunjung, orang tua kami membuka pintu rumah dengan lebar dan menyambut mereka dengan baik.
Anak-anak tidak melihat sedikitpun perbedaan di antara mereka. Begitu pula ketika Hari Raya Idulfitri, kunjungan mereka sudah kami anggap sebagai kerabat, keluarga.
Saya dan saudara-saudara saya memanggil si pemilik toko itu dengan sebutan paklik (dalam kultur Jawa merupakan akronomim bapak cilik yang merupakan adik ibu atau adik bapak. Sebutan lain paman).
Kedatangan paklik selalu kami tunggu tunggu karena dia pasti bercerita tentang banyak hal tanpa sedikit pun menyinggung tentang perbedaan agama di antara kami. Paklik juga memberi saran kepada orang tua saya agar memasukkan anak anaknya untuk.
Dengan kuliah, anak-anak bisa menjadi guru. Sedemikian dekatnya keluarga kami dengan keluarga paklik, hingga perbedaan agama itu tidak pernah terasa.
Hubungan selaras juga terbentuk antara keluarga saya dengan para pemilik toko onderdil di dekat toko paklik yang juga orang China. Kami tidak pernah saling menyinggung masalah perbedaan agama.
Waktu berjalan dan sekarang saya menjadi orang tua dari dua anak. Anak pertama saya perempuan sementara anak kedua adalah laki laki.
Perkembangan zaman yang semakin cepat dan semakin global ini mengharuskan saya untuk untuk memberikan pandangan mengenai pentingnya hidup rukun di antara orang-orang yang berbeda agama. Pandangan itu tidak hanya ditanamkan dengan tindakan nyata, melainkan juga tuturan.
Tuturan itu tentu menyesuaikan dengan umur anak-anak. Saya dan suami memberikan tindakan yang nyata bagaimana kami mempunyai teman dekat yang berbeda agama dan bagaimana kami saling berkunjung ke rumah meskipun untuk sekadar ngobrol.
Penanaman sikap toleransi dan hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda agama kepada dua anak kami menjadi sangat penting. Menjadi keharusan supaya mereka tidak mudah dipengaruhi berita-berita yang bernuansa intoleransi, bahkan penolakan terhadap satu agama tertentu.
Anak anak saya harus memiliki pemahaman toleransi beragama dan tidak boleh membedakan orang yang berbeda agama. Indonesia bisa seperti sekarang ini berkat kerja keras para pahlawan yang agamanya berbeda-beda.
Ada satu hal yang membuat saya sedih saat mengajarkan soal keberagaman ini. Suatu hari, saya dan suami mendapatkan cerita dari anak saya yang kedua. Sore itu, dia pulang dari bermain di rumah tetangga.
Dia bercerita mengenai temannya yang tidak boleh masuk rumah temannya yang lain. Saya dan suami terkejut mendengarnya dan mencoba mencari tahu apa masalahnya. Penyebabnya ternyata dua anak itu berbeda agama.
Sebelum semuanya terlambat, saya dan suami langsung memberi pengertian kepada anak kami yang kecil bahwa rumah kami terbuka untuk semua temannya. Saya menekankan bahwa kita tidak boleh membedakan teman, termasuk nereka yang berbeda agama untuk bermain dan masuk rumah kita.
Anak saya bercerita tentang pelarangan itu karena kejadian tersebut berbeda dengan hal-hal yang dia temui di rumah. Sebelum kejadian itu, anak saya sering didatangi teman-temannya, termasuk yang berbeda agama. Mereka bisa masuk dengan bebas ke rumah kami, entah untuk bermain, sekadar melihat koleksi mainan, atau melihat lele yang kami pelihara.
Larangan Masuk Rumah
Kejadian pelarangan masuk rumah karena berbeda agama yang dilakukan seorang anak merupakan contoh sikap intoleransi yang tidak dapat dibenarkan, apapun alasannya. Apabila seorang anak bisa melarang temannya yang berbeda agama masuk rumah, maka yang paling bertanggung jawab adalah orang tuanya.
Seharusnya orang tua memberikan contoh nyata dan didikan tentang hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama. Orang tua juga mengajarkan sikap toleransi beragama. Hal itu sangatlah penting bagi anak-anak.
Dengan memiliki sikap toleransi beragama, mereka terhindar dari pengaruh atau paham- paham yang akan berusaha memecah belah generasi muda. Bahaya laten yang mengancam generasi muda di masa mendatang bukan lagi dari penjajah, dari bangsa luar, tetapi bahaya narkoba dan sikap intoleransi.
Sikap intoleransi dapat dicegah melalui didikan orang tua terhadap anak-anaknya. Didiklah anak agar senantiasa dapat hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama serta menerima mereka apa adanya, termasuk membolehkan orang yang berbeda agama masuk rumah kita.
Anak-anak memiliki long term memory atas apa yang pernah mereka alami, termasuk kejadian pelarangan masuk rumah itu. Jangan sampai peristiwa pelarangan masuk rumah karena berbeda agama terjadi lagi di mana pun itu. Cukup sekali saja terjadi dan semoga peristiwa itu menjadi yang pertama dan terakhir.
Indonesia adalah bangsa yang sangat unik dengan kebinekaannya. Indonesia yang kita cintai bersama ini dibangun di atas tetesan darah para pahlawan yang berasal dari berbagai agama. Jangan rusak cita-cita para pahlawan dengan sikap egois dan sikap intoleransi. Kita semua harus bangga dan menjaga Indonesia yang bineka. Mari kita jaga Tanah Bineka tercinta ini .
Umi Khumaidah
Penulis adalah guru di SMAN 1 Sukoharjo
Sumber:https://www.solopos.com/saya-memanggil-dia-paklik-1251062?utm_source=arsip_desktop