Banyak tradisi me nyambut kelahiran bayi bagi orang Jawa. Salah satu tra disi yang hingga kini ma sih membudaya dalam masyara kat Jawa Tengah, khususnya
Sragen, adalah brokohan. Brokohan adalah upacara adat untuk menyambut kelahiran bayi. Brokohan atau yang oleh sebagian masyarakat disebut krayahan biasanya dilaksanakan sehari setelah kelahiran bayi. Umumnya upacara ini digelar pada sore hari.
Kata brokohan berasal dari bahasa Arab, yaitu barokah atau berkah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berkah berarti karunia Tuhan yang mendapat kebaikan bagi kehidupan manusia. Karunia merupakan anugerah dari Tuhan yang membawa kebaikan.
Ditinjau dari makna brokohan, sebagian masyarakat Sragen menginterpretasikan nya sebagai ungkapan rasa syukur atas la hirnya jabang bayi. Brokohan dilakukan sebagai wujud syukur atas karunia yang diberikan oleh Tuhan. Selanjutnya, orang tua berharap bayi yang lahir mendapat keberkahan dari Yang Maha Pencipta.
Tujuan brokohan adalah untuk memohon keselamatan dan perlindungan bagi sang bayi. Selain itu, brokohan juga menjadi prosesi pengharapan agar bayi yang lahir akan menjadi anak yang memiliki perilaku baik.
Dalam tradisi brokohan, orang tua bayi menyiapkan nasi layaknya menggelar kenduri. Menu makanan yang disajikan dalam brokohan beragam tergantung penyelenggaranya. Di kalangan bangsawan, menu yang disajikan di antaranya dawet, telur mentah, jangan menir atau bayam, sekul ambeng dengan lauk sambal goreng tempe kering, serundeng kelapa, jeroan kerbau, pecel dengan lauk ayam, kembang setaman, kelapa, dan beras.
Sedangkan di kalangan rakyat biasa, menu yang disajikan berupa nasi ambengan yang terdiri atas nasi jangan dengan lauk sambal goreng tempe kering, serundeng kelapa campur kacang tolo, peyek, sambel goreng kentang, tempe, bihun, jangan menir, dan pecel ayam.
Rangkaian upacara ini diawali dengan ritual mendhem ariari, yaitu memendam plasenta bayi ke dalam tanah. Ada beberapa perlengkapan yang harus disediakan. Sajian untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan tidak sama. Untuk bayi laki-laki, sajiannya berupa ayam betina yang belum pernah kawin. Sedangkan untuk bayi perempuan adalah ayam jantan yang belum pernah kawin.
Sajian lain baik untuk bayi la ki-laki dan bayi perempuan adalah jenang baro-baro, bunga raken, jenang putih, dan jenang merah-putih. Setelah per leng kapan mendhem ari-ari diberi doa, plasenta bayi yang sudah disimpan dalam ken dil tembikar dipendam dalam tanah, biasanya di samping pintu masuk rumah. Plasenta bayi laki-laki di sebelah kanan pin tu rumah, sedangkan plasenta bayi perempuan di sebelah kiri pintu masuk rumah.
Selesai acara mendhem ari-ari itulah brokohan dilakukan. Ritual ini diawali dengan pembacaan doa bersama untuk sajian brokohan yang dipimpin sesepuh atau pemuka agama. Setelah itu sajian dibagikan kepada warga yang hadir.
Sajian brokohan bisa disantap di tempat berlangsungnya upacara atau bisa dibawa pulang. Namun, penyelenggara yang mampu menyediakan sajian untuk dimakan di tempat sekaligus makanan untuk dibawa pulang ma sing-masing warga. Ada juga model yang lebih sederhana, yakni sajian dikirim ke rumah-rumah warga. Setelah dibacakan doa, sajian brokohan diantar ke tetangga dan kerabat.
Tradisi brokohan ini dilakukan secara turun-temurun dan bertahan hingga saat ini. Namun, persepsi masyarakat Sragen terhadap tradisi brokohan kini berbeda-beda. Masyarakat golongan tua menganggap upacara brokohan sebagai ritual yang sakral.
“Mereka memiliki berkeyakinan apabila brokohan tidak dilak sa nakan dengan semestinya akan mengakibatkan kere sahan dalam diri dan akan adanya hal-hal negatif yang akan mereka terima,” tulis Retnia Yuni Safitri, Risma Margaretha Sinaga, dan Yustina Sri Ekwandari dalam publikasi penelitian berjudul Persepsi Masyarakat Jawa terha dap Tradisi Brokohan yang diterbit kan melalui Jurnal Pesagi Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unila.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, sebagian masya rakat memilih melaksanakan brokohan dengan penyederhanaan, baik dalam tahapan maupun perlengkapan yang digunakan. Menurut mereka, penyederhanaan tidak menyebabkan kesakralan tradisi itu memudar.
Selain itu, ada sebagian masyarakat Sragen yang sama sekali tidak menjalankan tradisi brokohan sama sekali. Mereka meninggalkan tradisi tersebut karena dinilai tidak sesuai dengan keyakinan keagamaan.
Terlepas dari perbedaan penilaian tersebut, tradisi brokohan pada awalnya menyimpan berbagai nilai kehidupan, di antaranya nilai religiusitas, nilai sosial, dan nilai pendidikan.
Nilai religiusitas brokohan adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas lahirnya bayi. Dalam ritual itu, orang tua, saudara, dan keluarga ber sama-sama memanjatkan doa agar bayi yang lahir mendapat keberkahan.
Sedangkan nilai sosial dari ri tual ini adalah penyelenggaraannya yang melibatkan banyak orang, mu lai persiapan hingga pelaksana an. Brokohan biasa melibatkan sanak saudara, kerabat, maupun te tangga untuk rewangan, yaitu bantu-membantu melangsungkan hajat an. Pembagian sajian Brokohan yang dibagikan kepada warga juga kerap dinilai sebagai ajang berbagi.
Sedangkan nilai edukasi brokohan adalah pembiasaan untuk selalu bersyukur, qana’ah, bersilaturahmi, dan saling berbagi. Bagi masyarakat yang masih menjalankannya, tradisi brokohan bisa menjadi media edukasi untuk membangun karakter masyarakat.
Aning Sujayanti
Guru SMPN 5 Sragen