Blog

Masjid Kuno dan Tradisi Lisan Kauman

Istimewa/Google Street View Masjid Zakaria di Kauman, Masaran, Sragen, yang tertangkap kamera Google Street View beberapa waktu lalu. Di kampung itu, terdapat makam Eyang Zakaria dan petilasan yang diduga merupakan bekas bangunan masjid.

Saya tinggal di suatu dusun bernama Kauman di wilayah desa Masaran, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen. Arti nama Kauman tidak terpikirkan oleh saya saat masih kecil, begitu pula oleh banyak anak-anak lainnya.

Namun, setelah bekerja sebag ai guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) khususnya Sejarah, saya mulai mengetahui makna wilayah bernama Kauman yang muncul di banyak daerah. Dari situlah saya mencari apa keistimewaan kampung saya dari sisi kesejarahan ataupun peninggalan dari masa lalu.

Perhatian pertama saya tertuju pada jejak-jejak peninggalan masa lalu di kampung itu. Menurut informasi yang pernah saya baca, di setiap kampung Kauman yang merupakan kampung muslim, pasti ada masjid sejak awal perkembangannya. Itu ternyata benar.

Ada reruntuhan bangunan kuno yang diyakini sebagai masjid dan makam yang sudah tua. Kebetulan rumah saya hanya sepelemparan batu dari reruntuhan masjid dan makam tersebut. Mengapa saya meyakini itu bekas sebuah masjid? Kemungkinan reruntuhan tersebut merupakan bekas bangunan masjid muncul dari arah kiblat bangunan. Selain itu, ada pondasi mimbar yang masih ada terlihat.

Menariknya, bekas masjid ini dibuat dari batu bata yang sangat besar dengan ukuran 40 cm x 40 cm. Berdasarkan berbagai literatur yang saya pelajari dalam studi sejarah, bahan bangunan tersebut mirip dengan material khas candi di Jawa Timur. Selain itu, masih ada bahan dari batu andesit pada beberapa sisi. Di sana pula terdapat sebuah yoni yang sudah diamankan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen beberapa waktu lalu.

Saya menelusuri bangunan makam yang semuanya menghadap ke utara. Arah itu menandakan orang-orang yang dimakamkan di sana sudah memeluk agama Islam. Kemungkinan besar bangunan masjid ini dipakai pada awal masa peralihan era Hindu ke Islam. Kemungkinan ini diperkuat oleh fakta material bangunan yang sudah tidak ada lagi pada masa sekarang. Situs tersebut kini ditumbuhi dua pohon besar, yaitu satu pohon randu alas yang ketinggiannya pernah mencapai 20 meter dan pohon bulu yang mirip beringin.

Menurut kepercayaan masyarakat desa setempat, makam tersebut merupakan makam Eyang Zakaria. Sedang yang ada di sampingnya lainnya diduga merupakan makam kerabat atau murid-muridnya. Eyang Zakaria dianggap sebagai leluhur atau cikal bakal masyarakat setempat sehingga kompleks petilasan tersebut sering disebut punden.

Setiap tahun pada Jumat Pahing Juli dan Agustus, masyarakat masih melaksanakan tradisi bersih desa. Tradisi itu berupa kenduri bersama yang digelar di area depan permakaman yang diikuti oleh berbagai masyarakat lintas agama. Kebetulan kampung ini dihuni oleh masyarakat yang majemuk, ada menganut Islam, Hindu, dan Kristen.

Supono, seorang tetua di Kau man, menyebut tradisi ini, sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan rezeki yang diterima masyarakat, khususnya kaum petani. Bahkan, menurutnya, pada masa lalu makanan kenduri bisa dibagikan kepada masyarakat di luar desa, khususnya yang mengalami kekurangan makanan.

Acara bersih desa tahun ini dilaksanakan pada Jumat Pahing 19 Agustus 2022. Saya hampir selalu mengikuti acara kenduri tersebut seperti yang dilakukan orang tua saya. Ada unsur kegembiraan dan persaudaraan yang kuat dalam setiap bersih desa.

Biasanya acara kenduri dilakukan setelah sebagian masyarakat melakukan Salat Jumat. Setelah kenduri usai, ada kegiatan yang melibatkan anak-anak muda dengan berbagai perlombaan sebagai hiburan. Namun, akhirakhir ini sebagian masyarakat enggan berpartisipasi dalam kenduri karena beberapa alasan.

Potensi untuk mengembangkan petilasan Eyang Zakaria sebagai wisata religi sangat besar. Setiap malam Jumat atau Kamis malam, banyak peziarah yang datang untuk berdoa. Selain itu, di samping makam terdapat pura atau tempat ibadah warga Hindu. Pura itu bernama Jagatpati dan umatnya sebagian besar adalah orang-orang Jawa asli. Selain itu, banyak masyarakat dari Bali yang mengunjungi pura tersebut.

Ranto
Guru SMPN 1 Sidoharjo, Sragen