Workshop berita kisah yang digelar Eco Bhinneka bekerja sama dengan Solopos Institute mengeksplorasi berbagai aksi penyelamatan lingkungan yang menembus sekat agama.
SOLOPOS.COM – Suasana Workshop Penulisan Berita Kisah yang digelar Eco Bhinneka bekerja sama dengan Solopos Institute di Red Chilies Hotel Solo, Selasa-Rabu (13-14/9/2022)
Solopos.com, SOLO—Seperti objek gambar anak-anak di era ‘80 dan ‘90-an yang nyaris sama: pegunungan dengan kelokan jalannya; sawah di kanan dan kirinya; burung-burung yang beterbangan; serta langit biru yang sungguh cerah, lukisan tentang bocah penggembala kerbau di sawah atau mandi di sungai bersama kerbau-kerbau mereka juga menjadi memori kolektif masyarakat Indonesia pada era yang sama.
Bukan hanya lukisan di kanvas, masyarakat pada era itu juga sangat akrab dengan foto dan gambar di kalender lama yang dengan telah sangat baik menyimpan memori kolektif tersebut di lembaran-lembarannya. Ingatkah Anda tentang foto sungai yang jernih, gunung yang hijau, burung-burung yang beterbangan, lalu para petani yang mengayuh sepeda di jalanan yang udaranya sangat segar pada masa lalu?
PromosiDaihatsu Rocky, Mobil Harga Rp200 Jutaan Jadi Cuma Rp99.000
Memori itulah yang dipanggil kembali Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Solo, Rokhani, saat membuka Workshop Penulisan Berita Kisah Program Eco Bhinneka Muhammadiyah-Solopos Institute di Red Chilies Hotel Solo, Selasa-Rabu (13-14/9/2022). Workshop itu adalah wujud kolaborasi Program Eco Bhinneka-Solopos Insitute untuk menguatkan pengelolaan media.
Workshop digelar secara hibrida, luring dan daring. Peserta dari Kota Solo mengikuti secara luring sedangkan peserta dari Pontianak Provinsi Kalimantan Tengah dan Ternate Provinsi Maluku Utara mengikuti workshop secara daring.
Saat membuka workshop, Rokhani melontarkan sebuah kalimat pernyataan kepada para peserta yang membuat mereka semua berpikir. “Sekarang saya jarang mendengar ada anak mandi di sungai. Kondisi sungai barangkali memang tidak layak lagi digunakan untuk tempat mandi. Beberapa puluh tahun lalu, anak-anak menggembala kambing, sapi, lalu mandi di sungai. Lingkungannya masih memungkinkan. Tapi, untuk kembali ke masa lampau sepertinya memang sulit karena kondisinya sudah seperti ini,” kata dia.
Rokhani mengakui kondisi lingkungan saat ini begitu berbeda dibandingkan dengan lingkungan pada masa kecilnya, beberapa puluh tahun yang lalu. “Pencemaran di mana-mana, tidak hanya di air, namun juga udara dan tanah. Sampah mencemari lingkungan,” imbuh dia.
Ingatan Rokhadi tentang sungai ini lantas bertalian dengan ingatan sejumlah peserta workshop dari Solo. Sejumlah peserta juga mengekspresikan memori mereka tentang sungai. Keberadaan Bengawan Solo dan anak-anak sungainya membuat warga Solo lebih sering mengingat sungai ketika membahas mengenai alam dibandingkan bagian alam yang lain.
Namun, kebanyakan ingatan para peserta workshop dengan usia rata-rata di bawah 25 tahun bukanlah ingatan yang cerah. Pada sesi perkenalan acara yang dikemas dengan metode menyebut nama dan menunjukkan gambar hasil karya bertema lingkungan, hampir semuanya menunjukkan degradasi lingkungan. Ridwan salah satu contohnya.
Dia menggambar tentang banjir di Joyotakan, sebuah kelurahan di Solo yang berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Wilayah ini dialiri anak Bengawan Solo, yaitu Sungai Jenes dan Kali Wingko. Bagian awal berita kisah yang ditulis Ridwan menyebutkan tentang pengalamannya yang traumatis, beberapa tahun sebelumnya. Ridwan lupa tepatnya, namun dia masih ingat betul tentang kondisi pada malam hari dan suasana yang mencekam pada waktu itu.
“Pukul 21.00 WIB, hujan deras turun terus. Warga mulai panik, mengemasi barang-barang mereka, sementara sungai mulai meluap. Airnya masuk kampung pada pukul 23.00 WIB. Warga mulai mengungsi,” tulis Ridwan. Kondisi itu tidak hanya terjadi sekali-dua kali, namun berkali-kali. Joyotakan adalah wilayah langganan banjir.
Ketakutan dan ketidakpastian di lokasi pengungsian menjadi pengalaman yang tidak terlupakan. Ridwan mengatakan selalu berdoa supaya banjir tak lagi datang di kampungnya. Harapan itu ia ekspresikan dalam salah satu paragrafnya. “Tidak menyalahkan satu sama lain, semua warga terlibat dalam pembersihan sampah setelah banjir. Semua warga yang terdampak banjir diminta selalu ikut menjaga lingkungan dengan cara menjaga kebersihan selokan. Tidak terkecuali Pak Muslim, salah satu ulama yang ikut membantu membersikan gereja yang masih bertumpukan sampah dan kotoran pascabanjir. Umat nasrani antusias ketika melihat semua kalangan ikut berbaur membersihkan gereja,” tulis dia.
Pengalaman traumatis terkait banjir juga dituliskan peserta lain yang merupakan warga Joyotakan, Aniswa. Seperti Ridwan, Aniswa juga selalu berdoa agar banjir tak lagi datang ke rumahnya. Untuk itulah dia selalu bersemangat ketika warga di RW 005 Joyotakan, tempatnya tinggal, bergotong royong membersihkan sungai, selokan, dan secara umum lingkungan, seperti yang dia gambarkan di salah satu paragrafnya.
“Warga RW 005 Joyotakan membersihkan sungai setiap Minggu. Mereka bekerja tanpa membedakan suku, ras, dan agama sebab kebersihan menjadi kepentingan bersama. Semua membawa alat-alat pembersih, seperti sapu lidi dan keranjang untuk mengambil sampah. Warga membersihkan area penting di pinggiran sungai, di bawah bebatuan, tempat yang biasanya air mengalir, tetapi terhambat sampah. Semua itu agar sungai tidak meluap tinggi saat hujan deras…”
Kerja sama antarumat beragama untuk kepentingan bersama disuarakan pula peserta daring dari Pontianak, Nienda. Dia menuliskan pengalamannya saat bekerja sama dengan warga lintas agama di acara gowes Eco Bhinneka. Dalam acara itu panitia membagikan 100 bibit pohon untuk warga.
“Dalam gowes itu kami mengunjungi enam tempat ibadah, seperti Masjid Mujahidin Pontianak, Gereja Pintu Elok, Wihara X, Klenteng di Y, dan Pura Z. Finisnya di Gereja Sisilia di Jl. A. Di Masjid Muhahidin. Kami membawa bibit pohon menggunakan pikap. Ada 100 bibit pohon. Di kelenteng kami menurunkan 10 bibit yang terdiri atas mahoni, durian, matoa, dan rambutan,” tulisnya. Dalam pandangan Nienda, upaya pelestarian lingkungan mengalahkan sekat agama.
Tulisan Ridwan, Aniswa, dan Nienda adalah sebagian contoh bagaimana peserta workshop mengekspresikan pikiran mereka tentang kisah-kisah baik yang harus berusia panjang. Mereka menuliskan itu setelah mendapat pembekalan materi mengenai berita kisah dari para pengajar Solopos Institute mengenai konsep dasar jurnalisme untuk keberagaman dan lingkungan, teknik pengumpulan data, menulis kisah secara deskriptif-naratif, hingga merancang tulisan berita. Jurnalisme yang menuntut kehidupan egaliter, antidiskriminasi, antiprasangka, menjadi dasar bagaimana seseorang menulis hal-hal baik di sekitar mereka. Lantas begaimana dengan kisah yang buruk?
Dalam diskusi yang ramai, peserta sepakat kisah buruk tetap harus ditulis, seperti halnya banjir di Joyotakan. Namun, perspektifnya adalah menjadikan kisah buruk itu sebagai contoh yang buruk supaya tidak terulang kembali pada masa mendatang. Setelah workshop selesai, peserta dituntut membenahi berita kisah yang telah mereka tulis untuk mendiseminasikan nilai-nilai keberagaman serta penyelamatan lingkungan kepada masyarakat luas.
Penulis:Ayu Prawitasari |Editor: Ayu Prawitasari