Dibandingkan remaja lain, khususnya remaja laki-laki. bisa dikatakan saya memiliki keunikan. Saya laki-laki, tapi saya feminim.
Solopos.com, SOLO—Fauzi Hidayat adalah namaku. Aku anak dari Sigit Haryanto dan Sri Mulyani. Ayahku karyawan swasta yang bekerja di Indocement. Ibuku seorang ibu rumah tangga. Saat ini, usiaku 18 tahun. Aku pelajar tingkat akhir Jurusan MIPA di SMAN 1 Cawas. Cita-citaku menjadi seorang dokter.
Menurutku, dokter adalah profesi yang sangat mulia. Dokter memiliki nilai lebih. Selain itu, menurutku, menjadi seorang dokter bakal memberikan banyak manfaat kepada sesama. Dokter merupakan tugas yang bersifat kemanusiaan. Mengingat manusia harus berguna bagi orang lain, maka saya ingin menjadi dokter agar bisa membantu dan berguna bagi orang lain.
Nah, dari sini cerita saya dimulai. Dibandingkan remaja lain, khususnya remaja laki-laki. bisa dikatakan saya memiliki keunikan. Saya laki-laki, tapi saya feminim. Laki-laki feminim adalah laki-laki yang memiliki perilaku atau sikap dan sifat seperti seorang perempuan. Dia adalah sosok yang lembut, penyayang, serta sabar. Laki-laki feminim bisa juga diartikan sebagai laki-laki yang berjiwa perempuan serta keibuan.
Tak jarang orang-orang menyebut saya dengan sangat kasar, yaitu banci. Mungkin bagi mereka, laki-laki itu identik dengan suara keras, badan tinggi besar, tegap, serta tegas.
Secara fisik, justru tidak ada yang unik dari diri saya. Tidak ada yang membedakan saya dengan anak laki-laki pada umumnya. Tinggi badan saya 176 cm, berat badan saya 65 kg. Jadi saya pikir, fisik saya ini cukup ideal.
Hanya, saya memang menyukai sesuatu yang biasanya disukai anak perempuan. Saya menyukai seni tari, seni drama, dan keterampilan lain yang lazimnya dilakukan anak perempuan.
Padahal, dari kecil saya selalu diarahkan agar menjadi laki-laki sejati. Saya sebenarnya kurang tahu juga batasan laki-laki sejati seperti apa? Akan tetapi, saya tetap patuh karena demi kebaikan saya juga.
Awalnya memang banyak yang terasa kurang nyaman. Gaya berjalan, berbicara, makan, dan banyak hal lain, kenapa semua itu selalu diatur? Sementara apa yang saya lakukan semuanya adalah spontanitas.
Sejak kecil, saya memang menyukai hal-hal yang dilakukan anak perempuan. Salah satu contohnya, saya suka bermain masak-masakan. Bagi saya, permainan anak perempuan itu mengasyikan sedangkan permainan anak laki-laki itu melelahkan.
Ketika duduk di bangku SMP, saya aktif dalam organisasi OSIS, PMR, dan Dewan Penggalang. Tapi, di sisi lain, saya juga mengikuti ektrakurikuler seni tari, kerawitan, serta paduan suara.
Seni tari lazimnya diikuti anak perempuan. Di ekstrakurikuler ini pun, saya laki-laki sendiri. Banyak sekali yang mencibir sebenarnya, tapi saya tak peduli.
Bagi saya ini bukan sekadar soal laki-laki atau perempuan. Saya hanya ingin belajar dan mengembangkan bakat yang saya warisi dari kakek.
Berangkat dari ekstrakurikuler tari, saya dapat mengembangkan bakat yang saya punya. Saya sering mengikuti lomba dan saya sering membawa piala untuk sekolah. Saat duduk di bangku SMA, kondisinya sama. Ekstrakurikuler seni tari tetap menjadi pilihan saya. Saya sering ikut lomba dan event sekolah karena bakat saya ini. Untuk memperdalam bakat saya ini, saya pun mengikuti bimbingan kecantikan.
Yang terjadi setelahnya adalah orang tua semakin kecewa pada saya. Mereka berasumsi saya semakin terhanyut dalam dunia yang tidak seharusnya dilakukan laki-laki. Saya pernah frustasi karena orang tua sangat menentang bakat ini. Saya merasa hancur karena merasa tidak diterima siapa pun.
Namun, semakin bertambah usianya, semakin dewasa pula pikiran saya. Saya akhirnya bertekad untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa tidak ada yang salah pada diri saya. Saya adalah siswa yang berprestasi. Orang tua bisa membanggakan diri saya.
Berdasar pengalaman panjang itu, ada sebuah pelajaran berharga yang bisa saya petik. Stigma laki-laki feminim sudah seharusnya diluruskan. Tidak semua laki-laki berjiwa feminim itu buruk dan melanggar norma.
Kita kenal Ivan Gunawan bukan? Dia adalah seorang figur publik yang sukses dengan kepiwaiannya dalam mendesain baju. Chef Juna juga terkenal dengan resep masakannya yang menginspirasi. Lalu ada Windy Cantika Aisah, yang berhasil meraih mendali emas untuk Indonesia di SEA Games 2019. Windy mewakili Indonesia pada cabang olahraga angkat besi di kelas 49 Kg!
Bagi saya, itu semua bukan semata-mata tentang gender. Lebih dari itu, semuanya berkaitan dengan passion. Berbeda itu indah teman-teman. Saya adalah laki-laki dengan segala kemampuan saya. Kamu adalah laki-laki dengan kemampuanmu. Tidak perlu menghakimi mana yang benar atau mana yang salah.
Jauh lebih baik apabila kita bisa menghargai pilihan setiap orang. Marilah kita bersemangat melakukan hal positif dan bermanfaat bagi orang lain.
Editor : Ayu Prawitasari
Penulis: Fauzi Hidayat
Siswa SMAN 1 Cawas
Juara I Lomba Esai
Sumber : https://www.solopos.com/luka-yang-tak-terlihat-1306344?utm_source=terkini_desktop.