Hal yang paling penting diingat adalah setiap orang berhak memeluk agama dan kepercayaan masing-masing sehingga kita harus bersikap toleran terhadap siapa pun meski berbeda dari kita.
Kedua dinasti tersebut menganut kepercayaan berbeda. Dinasti Sanjaya merupakan penganut agama Hindu aliran Siwa yang berkiblat pada Kunjarakunja di daerah India sedangkan Dinasti Syailendra merupakan penganut agama Budha Mahayana.
Dalam perjalanan sejarah, kedua dinasti sebenarnya saling bersaing. Namun, di balik kisah persaingan itu tersimpan kisah menarik lain, yaitu percintaan antara penguasa dari kedua dinasti tersebut.
Kisah cinta ini terjadi antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dengan Pramodhawardhani dari Dinasti Syailendra. Pramodhawardhani merupakan penerus singgasana Samaratungga. Kisah cinta antara Rakai Pikatan dengan Pramodhawardhani sangat menarik karena kisah ini terjadi antara dua manusia dengan agama berbeda.
Tentu ada maksud tersembunyi di balik pernikahan keduanya. Motif politik, kekuasaan, dan penyebaran agama menjadi hal mendasar dari pernikahan tersebut. Namun, di balik itu semua ada hal positif yang terjadi.
Perkawinan keduanya disebut-sebut sebagai momen bersatunya dua keluarga besar yang sebelumnya berseteru dan dianggap sebagai salah satu contoh bentuk toleransi antarumat beragama. Tujuan penyatuan dua dinasti tersebut adalah keturunan antara agama Siwa dan Budha terjamin.
Begitu menarik memang kisah cinta berbeda agama antara Rakai Pikatan dengan Pramodhawardhani. Pada saat ini, kisah cinta seperti Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani masih kita jumpai dalam kehidupan.
Bedanya pernikahan yang terjadi bukan karena perebutan kekuasaan ataupun motif politik, namun kisah cinta dua manusia. Bukan hal yang baru bahwa setiap manusia tidak dapat menolak dengan siapa dia jatuh cinta, bahkan bila yang ditemuinya seseorang yang berbeda agama.
Beda orang, beda juga tindakannya. Ada sebagian yang jatuh cinta dengan orang yang berbeda agama, namun dapat menahan dan memilih untuk tidak melanjutkannya. Sebaliknya banyak juga orang yang tetap memperjuangkan kisah cinta beda agama yang mereka jalani.
Penilaian Masyarakat
Saya mengutip perkataan Sujiwo Tejo, menikah itu nasib, mencintai itu takdir, kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa.
Memang bukan hal mudah ketika menjalani sebuah hubungan di atas fondasi berbeda. Banyak ujian yang datang menghampiri, baik dari internal ataupun eksternal. Gejolak batin akan muncul ketika membuat suatu keputusan untuk menjalani sebuah hubungan di atas perbedaan keyakinan.
Perasaan ragu dalam memilih jalan akan datang dan menghantui pikiran. Belum lagi penilaian masyarakat pada umumnya yang menganggap bahwa hubungan berbeda keyakinan cenderung gagal dan tidak akan menemukan jalan.
Kita tidak bisa mengelak bahwa menjalani hubungan di atas perbedaan akan lebih sulit dibandingkan menjalani hal yang sama dengan sesama keyakinan. Pernikahan di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945. Pasal 28B ayat (1) menyebut perkawinan dan membentuk keluarga merupakan hak asasi manusia.
Pasal tersebut menjelaskan setiap warga Indonesia berhak melakukan perkawinan dengan siapa pun sesuai undang-undang yang berlaku dan sesuai dengan ketentuan yang dicantumkan di dalamnya. Selain itu, untuk urusan administrasi pun, pernikahan berbeda agama juga telah diatur undang-undang.
Sayangnya, beberapa daerah di Indonesia masih menganggap perkawinan beda agama sebagai hal yang tabu. Banyak masyarakat yang kurang menerima pernikahan berbeda agama.
Apabila dilihat dari sisi agama, pernikahan berbeda agama memang dipahami sebagai larangan sehingga masuk dalam kategori perzinahan. Maka dari itu banyak pasangan berbeda agama yang memutuskan untuk memilih salah satu agama dan mengikuti agama pasangannya. Ada juga yang bahkan memutuskan tidak memeluk agama mana pun.
Keputusan ini tentunya diambil berdasarkan petimbangan yang matang dan melalui proses yang begitu panjang. Tidak mudah dalam memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan keimanan seseorang. Kepindahan agama seseorang dianggap menyalahi aturan dan cenderung disoroti masyarakat. Selain itu, perundungan-perundungan atau sindiran tak kasat mata pun sering terlontar dari beberapa orang. Miris.
Orang-orang menganggap keputusan berpindah agama adalah keputusan salah besar. Mereka cenderung menyalahkan perasaan seseorang yang dianggap tidak bisa mengendalikan nafsu duniawinya sendiri. Satu contoh, ketika seorang perempuan muslim menikah dengan lelaki berbeda agama dan dia memutuskan untuk mengikuti agama pasangannya, otomatis dia harus melepaskan identitas kemuslimannya.
Bergosip
Ciri yang paling terlihat adalah lepasnya hijab dari kepala perempuan tersebut. Perubahan ini akan menjadi topik sedap untuk dibicarakan masyarakat yang mempunyai hobi bergosip. “Jilbabmu kemana?” adalah pertanyaan yang sering muncul ketika bertemu dengan perempuan tersebut. Jelas-jelas mereka sudah tahu dan menyadari bahwa perempuan tersebut telah berpindah agama, namun masih saja bertanya berulang-ulang. Mereka tidak berpikir hal tersebut dapat menyinggung dan melukai perasaan si perempuan.
Bayangkan apabila Anda berada di seperti perempuan tersebut. Apakah Anda bisa dan mampu menjalani kehidupan seperti dirinya? Belum tentu. Mereka yang berpindah agama telah mengalami lika-liku dari gejolak batin hingga pertentangan dari berbagai pihak, salah satunya dari keluarga. Keputusan berpindah agama tentunya sudah dipikirkan dan dipertimbangkan dengan bijak.
Mereka pun berani menanggung risiko jika terjadi sesuatu. Salah satunya adalah anggapan dan gunjingan masyarakat tentang status agama baru yang disandangnya.
Terkadang kita melupakan batasan antara peduli dan basa-basi. Batas antara keduanya sangatlah tipis sehingga kita harus hati-hati dalam bertindak. Bisa saja niat kita adalah peduli dan saling mengingatkan untuk berbuat kebaikan, namun harus kita lihat lagi situasi dan kondisinya.
Apakah yang kita lakukan itu bentuk kepedulian atau sekadar basa-basi. Jika kita peduli, seharusnya kita lebih menghargai setiap keputusan yang diambil oleh seseorang. Sebisa mungkin kita mendukungnya agar tetap menjadi manusia yang lebih baik. Bukan sekadar memberikan penghakiman terhadap apa yang telah ia lakukan.
Hal yang paling penting diingat adalah setiap orang berhak memeluk agama dan kepercayaan masing-masing sehingga kita harus bersikap toleran terhadap keyakinan dan keputusan seseorang yang berbeda dengan kita. Satu lagi kutipan dari Sujiwo Tejo yang ingin saya sampaikan, cintanya kepada sesama manusia cuma dalam rangka cintanya kepada Tuhan yang menciptakan manusia!
Sebelum kita mengklaim bahwa kita mencintai Tuhan, kita harus tanyakan terlebih dahulu kepada diri kita masing-masing apakah sudah mencintai ciptaan-Nya? Jika pada umatnya saja kita masih saling memandang rendah terhadap keyakinan dan kepercayaan yang mereka miliki, lalu bukti apa yang menunjukkan bahwa kita mencintai Tuhan?
Jika kita bukan saudara seiman, setidaknya kita adalah saudara dalam kemanusiaan.
Windu Sari
Penulis adalah guru di SMAN 1 Cawas
Sumber: https://www.solopos.com/menghormati-cinta-beda-agama-1235876?utm_source=terkini_desktop