Tayub merupakan tari khas Jawa Tengah. Tarian ini telah berumur sa ngat tua, dan menjadi cikal bakal terciptanya Gambyong. Tayub mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Keindahan itu diikuti dengan kemampuan penari dalam melakonkan tari yang dibawakan.
Tarian ini dinilai memiliki kemiripan dengan Jaipongan di Jawa Barat. Selain itu, Tayub juga identik dengan Gambyong yang lebih terkenal dengan tarian tradisional dari Jawa Tengah, yang sampai sekarang terus berjalan, bahkan Tayub sudah melekat di hati masyarakat, khususnya di daerah Sragen.
Pada awal kemunculannya, tarian ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan upacara adat sebagai rasa syukur dan memohon keselamatan kepada Tuhan. Tayub biasa digelar pada acara pernikahan, khitan, dan acara kebesaran misal Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta acara bersih desa.
Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri atas pesinden, penata gamelan, serta penari khususnya wanita. Penari Tayub bisa dilakukan sendiri atau bersama, biasanya penyelenggara acara (pria).
Dalam upacara adat pesta panen, Tayub biasa ditampilkan secara bersama-sama oleh seluruh warga desa di pendapa atau balai pertemuan. Kepala desa akan menjadi pengibing pertama sebagai bentuk penghormatan, lalu disusul warga yang lain. Dalam acara pesta pernikahan, pertunjukkan Tayub juga biasa digelar untuk memeriahkan pesta.
Tarian ini akan ditampilkan pada saat mempelai laki-laki dipertemukan dengan mempelai perempuan. Atau juga bisa dilakukan oleh penari perempuan dan laki-laki secara berpasangan. Bisa kurang atau lebih, tergantung kemampuan orang yang menanggap (meng adakan acara). Biasanya pengantin laki-laki akan mendapat kehormatan untuk menari terlebih dahulu bersama ledhek (penari Tayub). Lalu, dilanjutkan dengan sambutan dari penanggap (tuan rumah) yang menyampaikan maksud dan tujuan diadakan pertunjukkan Tayub tersebut.
Selama jalannya pertunjukan, ada kalanya seorang penari mengalungkan selendang atau kain sampur kepada salah satu tamu yang hadir untuk ikut menari ngibing bersama. Tamu yang diajak menari juga secara antusias memesan jenis gendhing (lagu) kepada kelompok pemain musik sebagai pengiring tarian.
Selendang pertama biasanya akan diberikan kepada tuan rumah sebagai bentuk penghormatan kepada penanggap. Setelah itu, secara berurutan selendang berikutnya diberikan kepada orang-orang terdekat dengan tuan rumah. Selain penari, ada juga kelompok musik yang bertugas mengiringi tarian. Ada waranggana (pesinden) dua orang, seorang gerong (penyanyi laki-laki), serta pemain gamelan sekitar 12 orang.
Seperangkat alat musik gamelan juga dilibatkan secara lengkap berlaras pelog dan slendro untuk menyesuaikan gendhing yang dinyanyikan. Para pemain mu sik ini biasanya berada di luar panggung.
Pertunjukkan Tayub juga sempat menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan masyarakat. Gerakan penari yang terkadang erotis untuk menghidupkan suasana seringkali dipandang sebagai perbuatan yang kurang sopan.
Di masa lalu, penanggap kesenian Tayub memang biasa menghadirkan minuman keras dan ini menjadi hal yang lazim. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa pagelaran kesenian Tayub tanpa minuman keras bagaikan sayur tanpa garam. Tentu hal ini memberikan kesan negatif, yang selanjutnya menjadi stigma pada kesenian Tayub, juga para pelakunya, untuk memperbaiki citra tari Tayub yang telah mengakar dalam sejarah masyarakat seperti halnya pada kesenian Ronggeng.
Berbagai upaya dilakukan oleh penggiat kesenian ini. Aturan bertayuban pun diperketat menyesuaikan norma-norma baru di masyarakat. Para penari yang awalnya mengenakan busana kemben, diganti dengan kebaya berlengan dengan kain panjang agar lebih tertutup. Tempat pertunjukkan yang awalnya berbaur dengan para penonton, diubah menjadi konsep panggung, sehingga ada jarak antara penari dan penonton. Selain itu, keterlibatan minuman alkohol juga tidak diizinkan lagi.
Dalam kebudayaan Jawa, kesenian Tayub mengandung nilai-nilai positif yang adiluhung. Tarian ini mengandung nilai-nilai spiritual, pemahaman hidup manusia dengan Tuhan, dan juga memiliki makna filosofis tentang jati diri manusia.
Dalam legenda Jawa, asal usul Tayuban juga berkaitan erat dengan kisah kadewatan (dewa-dewi) melakukan tarian berjajar dengan tubuh serasi atau guyup. Sementara itu, ledhek (penari) menggambarkan cita-cita keselarasan hidup yang sebenarnya diinginkan manusia.
Tentrem Rahayu
Guru SMPN 2 Karangmalang, Sragen